Almira mengencangkan volume handphone-nya demi menikmati lagu Jamiroquai favoritnya sejak SMP. Jogging track di komplek rumahnya belum terlalu ramai pagi ini. That’s what Almira loves best about running alone in the morning. Ia jadi punya waktu untuk sendiri dan melanglang buana dengan pikirannya. Sesuatu yang sulit ia lakukan di kesempatan lain. Entah Spotify player-nya sedang meledek atau apa tetapi lagu yang baru saja ter-shuffle membuatnya semakin tidak bisa lupa dengan hal yang mengusiknya sejak semalam.
“Ra, gue lagi winter break di Jakarta nih. Ketemuan, yuk?“
Kalau boleh jujur, itu adalah kalimat yang sangat amat ditunggu Almira sejak hampir 6 bulan yang lalu. Tidak akan pernah ada yang tahu kapan sebuah pertemuan akan dimulai dan kapan ia akan berakhir. Terkadang, justru saat kita sedang tidak berharap, sesuatu yang kita tunggu tiba-tiba datang. A serendipity.
Enam bulan yang lalu di Bulan Juni. Bulan favorit Almira. Saat ia tinggal di Amerika dulu, Bulan Juni berarti summer break. Setiap liburan musim panas, keluarganya selalu menyempatkan untuk jalan-jalan bersama. Setiap berlibur, Almira terbiasa mengirim postcard untuk dirinya sendiri dari tempat yang sedang ia kunjungi. Sekarang entah sudah berapa ratus postcard yang ia koleksi. Ada yang sudah lapuk, saking lamanya.
Namun, sejak pindah kembali ke Jakarta, Bulan Juni tidak lagi spesial untuk seorang Almira. Dua tahun belakangan bahkan ia sudah tidak lagi menjadikan bulan tersebut sebagai waktu wajib traveling-nya. Pekerjaannya sebagai event designer cukup menyita waktu dan tenaganya. Kalau cuti atau libur, maunya di rumah saja. Nonton DVD atau serial TV sambil ngemil martabak manis keju susu.
Di tahun ini, Bulan Juni kembali menjadi spesial meski Almira tidak tahu harus mendeskripsikannya seperti apa. Sebagaimana orang yang baru saja patah hati sepatah-patahnya, saat itu Almira selalu menyibukkan diri setiap harinya. Bahkan di hari Minggu. Ia seharian nongkrong di depan laptop demi mengasah skill desain grafisnya.
Keesokan harinya Almira terbangun jam 3 pagi. Laptop-nya masih menyala tetapi film Devil Wears Prada yang ia tonton semalam sudah habis menyisakan layar hitam dengan notifikasi low battery. Dengan malas ia mengulurkan tangan untuk menutup layar laptop dan meraih handphone-nya. Ada banyak chat yang masuk. Perlahan ia scroll satu per satu sambil terkadang menahan tawa karena kekonyolan teman-temannya di group chat. Akhirnya ia sampai pada sebuah pesan dari Bimo, temannya dulu saat di Amerika.
“Ra, apa kabar? Udah lama deh ngga ngobrol..“
Bimo had always been just Bimo for Almira. Mereka dulu sama-sama anggota PPI dan sering kerja bareng. Mereka sama-sama hobi fotografi dan desain dan beberapa kali pernah berdiskusi tentang itu. Tapi hanya sebatas itu saja pertemanan mereka. Bahkan Bimo bukan salah satu orang yang termasuk dalam inner circle Almira. Meski kaget, Almira membalas pesan Bimo dengan casual, layaknya teman lama. Dan peran Bimo dalam kehidupannya berubah setelah pesan singkat tersebut.
***
“I’m being super silly, ya, Ry?” Almira bertanya sambil memainkan sedotan ice lemon tea-nya. Sudah nyaris 6 bulan ia tidak bisa menghapus perasaannya pada Bimo meskipun mereka sudah tidak pernah mengobrol lagi. Sama sekali. Ary adalah saksi dari segala perkembangan perasaan Almira.
“We were just chatting. Dan cuma seminggu, Ry. Tapi kok gue bisa segini attached-nya ya sama dia? The worst part is that he’s not even interested in me.” Almira melanjutkan.
Ary terdiam agak lama. Ia tahu harus berhati-hati dalam menjawab segala keluh kesah Almira. Ini sudah entah keberapa kalinya dirinya dan kafe kecil miliknya ini menjadi pendengar cerita yang sama dari mulut teman sekantornya itu.
“Al, dimensi waktu tuh ngga berpengaruh buat seseorang yang lagi jatuh cinta. Mau cuma seminggu kek, tiga hari kek, if he had touched your heart, ya klepek-klepek lah elu!” Almira terdiam. Ary yang memang sebetulnya hobi sok tau menasehati orang masalah percintaan padahal dirinya sendiri juga percintaannya bermasalah, melanjutkan wejangannya, “Just make sure kalau lo ngga cuma jadiin dia pelarian. Lo ngga memaksa otak lo untuk terus-terusan mikirin Bimo daripada inget si you-know-who, kan?”
Almira menggeleng malas. You-know-who adalah panggilan sopan dari Ary untuk laki-laki yang sebelumnya telah membuat Almira porak poranda. Panggilan tidak sopannya tentu tidak akan lulus sensor. Sejujurnya, Ary kagum dengan cara Almira menghadapi masalahnya selama ini. She’s been handling it so well she deserve a big prize. Awalnya dia pikir Bimo bisa menjadi hadiah besar bagi Almira.. tapi mungkin tuhan punya rencana lain.
“Mana gue tega sih Ry? Lagian kalau cuma untuk pelarian, I could have used someone else, I could have used you.”
***
Sampai pagi ini Almira belum juga membalas ajakan Bimo untuk bertemu. Laki-laki yang selalu memanggilnya “Ra” dan bukan “Al” seperti orang-orang lainnya itu sudah menghilang selama enam bulan dari hidupnya. Well, Bimo masih kadang muncul di timeline social media Almira tapi lebih seperti orang asing baginya. Almira tahu ia tidak berhak menuntut apa-apa dari Bimo but she keeps wondering why did Bimo come to her life six months ago in the first place?
Bimo datang kala itu dengan sapaan sederhana yang akhirnya berlanjut ke obrolan seru. Selama tujuh hari berturut-turut. Bahkan mereka sempat saling curhat meski keduanya bukan teman dekat. Almira thinks it’s funny that it is often easier to open up with strangers than your own bestfriends.
Entah Almira yang saat itu terlalu terbawa perasaan atau memang they meant to be together someday. Namun Almira merasakan hal yang berbeda saat bersama Bimo. A serendipity.
Obrolannya dan Bimo hanya berlangsung singkat. Setelah tujuh hari ia bagaikan putus hubungan dengan Bimo. Di saat itulah Almira mulai menyadari bahwa ia merindukan kehadiran Bimo. Di lain sisi, ia juga sadar bahwa Bimo is not interested in her. Dia pernah membaca di suatu majalah bahwa kalau seorang laki-laki memang serius dan tertarik, he will stay. Sedangkan Bimo pergi.
Aeal pertama Almira curhat pada Ary, sahabatnya itu memaksa Almira untuk mencoba menghubungi Bimo duluan. Katanya zaman emansipasi. Namun Almira dengan tegas langsung menolak. “Mau ditaro mana harga diri gue, Ry?” Dan Ary langsung paham. Sakit hati karena penolakan (lagi) adalah hal terakhir yang Almira ingin rasakan saat ini.
***
“Iya, Ra, di sini sekarang summer. But I ain’t got no holiday. Beda lah sama zaman kita sekolah. But I bet working here is way more fun than in Jakarta.”
“Jangan bikin iri deh, Mo. Gue sumpah pengen banget dimutasi ke mana kek gitu. Medan, Solo, Balikpapan, Papua pun ngga apa-apa. Gue sumpek banget sama Jakarta.“
“Hahahaha. But you used to love New York, ya ngga sih? Lo happy banget waktu foto-foto di sana. Kenapa benci Jakarta? They both are big cities. Metropolitan.“
“Too much things that have the possibility of reminding me about past memories?“
“LOL. Liburan, gih, Ra. Diving deh cobain. Do something you’re always afraid of.“
“Lo pernah diving emangnya?“
“Pernah dong. Awesome, Ra, awesome.” Kemudian Bimo dengan semangat bercerita tentang pengalamannya menyelam.
***
Almira menghentikan flash back yang terjadi di pikirannya saat ia tiba di depan rumah. Time’s up. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membalas chat dari Bimo setelah lari pagi.
“Sorry, Mo.. Gue malam ini pindahan ke Balikpapan. Maybe next time, ya. Enjoy your holiday, btw.“
Almira setengah mati menahan keinginannya untuk menanyakan kabar dan berapa lama ia akan di Jakarta untuk kembali bisa mengobrol dengan Bimo. Toh mereka tidak akan bisa bertemu juga. Padahal ini adalah hari yang ditunggu-tunggu Almira sejak dulu. Tuhan punya segala cara untuk mempertemukan dua orang yang seharusnya bertemu. Sebagai konsekuensinya, tuhan juga punya segala cara untuk tidak mempertemukan dua orang yang tidak seharusnya bertemu.
Kali ini Almira menuruti wejangan Ary. “Al, sabar aja. Nanti juga lo lupa kok sama dia. Atau kalau lo beruntung, lo bakal end up sama dia. But now you’re going to start a new life di Balikpapan and you should focus on that. Dan jangan lupa nih, Al, bersyukur. Be grateful for Bimo who came into your life six months ago and made you so happy. Even only for seven days. Syukuri itu, Al.”
***
Setibanya di Balikpapan, Almira menyalakan handphone-nya. Ada satu pesan baru dari Ary.
“Al, suatu hari nanti, kalau lo udah siap… coba sapa Bimo, ajak dia ngobrol duluan. Casually, as a friend. Lo ngga akan pernah tau apa yang akan terjadi setelahnya.“