Keeping all balloons in the air

Beberapa waktu yang lalu, ada seorang temanku yang bercerita tentang how stressful it is to study abroad. Sebelumnya ada juga temanku yang mengeluh karena setiap harinya dipenuhi dengan belajar, sampai belum sempat jalan-jalan ke London sejak tiba di Inggris bulan September lalu. Jadi menurutku it’s quite an important stuff to share my experience on keeping all balloons in the air ketika S2 kemarin.

I came to UK with huge excitement. Aku semangat banget dan waktu itu cukup ambisius. Belajar dari pengalaman S1, kalau mau mendapat hasil akhir yang cemerlang, dari awal perkuliahan aku harus commit untuk rajin belajar dan selalu memberikan yang terbaik. Selain itu, aku juga terpacu untuk bisa lulus summa cumlaude alias distinction. Soalnya, Vidi Aldiano dengan jurusan yang sama denganku bisa mendapat nilai disertasi distinction. Ngga mau kalah dong pastinya sama Vidi (sok akrab). Long story short, di awal perkuliahan aku sangat ambisius.

The truth is, it’s not that easy. Kuliah S2 di luar negeri itu kayak keeping all balloons in the air and you got lots of balloons. Satu balon adalah belajar, balon lain adalah memasak dan mengurus keperluan sehari-hari karena harus mandiri, balon lainnya merupakan hasrat untuk bisa jalan-jalan, dan masih banyak lagi balon lainnya. Mulai dari mengatur uang, maintain good relationship dengan teman-teman di Indonesia, sampai ikut kegiatan bersama perantau dari Indonesia lainnya demi menghilangkan rasa kangen. Ditambah lagi, belajar ketika S2 di luar negeri ngga lagi semudah belajar saat S1 di Indonesia dulu. Harus ekstra, cause all materials are in English. Aku ngga pernah meleng sedikit pun kalau di kelas karena dijamin akan ketinggalan penjelasan dosen. Waktu mau ujian pun aku harus minta file recording penjelasan dosen demi bisa mengingat kembali semua pelajarannya. Totally different dari saat aku S1, yang sambil main handphone aja bisa tetep mengerti apa yang dosen jelaskan.

Stressful? Yeah, honestly, at first. Jadi ketika itu aku mencoba untuk ngga terlalu ambi. Or else aku akan stress. Aku akhirnya mengontrol ekspektasi, especially for my own self. I pushed myself hard but I also knew when to stop, when it’s actually enough. I still aimed high, but I also acknowledged that I may not be able to reach that high. I finally set a border which I can’t cross. Itu seperti limit yang aku buat agar aku ngga push myself too hard dan malah membuat sulit diri sendiri. Selain itu aku juga terbantu dengan time management yang baik. Aku untungnya bukan seorang deadliner, aku selalu spare time beberapa hari sebelum deadline untuk bisa mengecek kembali hasil pekerjaanku. Aku cukup perfeksionis anaknya, jadi spare time itu juga aku lakukan untuk (biasanya) berkali-kali merevisi tugas sebelum akhirnya aku kumpulkan.

It’s not easy to keep all balloons in the air. Baru selesai melempar satu balon, harus buru-buru melempar balon lainnya sebelum jatuh ke tanah. So busy, so hectic, and so stressful. Tapi bukan berarti ngga mungkin, you just have to know your capacity. As time goes by, pasti terbiasa. Dan harus nerimo, kalau sesekali mungkin ada balon yang ngga ke-handle dan akhirnya jatuh. Cause that’s life. And most importantly, we can always pick it up and throw it up again in the air.

Good luck,

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s