Siapa bilang menjadi dewasa itu mudah? Ketika seseorang beranjak dewasa, banyak keputusan besar yang harus diambil. Salah satunya keputusan mengenai jalan hidup yang ingin dilalui. Setelah memilih salah satu jalan pun, kadang kala seseorang masih saja tersesat. Tiba-tiba menyadari bahwa ia berada di jalan yang salah. Atau, entah bagaimana takdir seperti tidak setuju dengan jalan yang ia ambil. Sebegitu membingungkannya kehidupan sebagai orang dewasa.
Aku masih ingat betapa mudahnya menjawab pertanyaan “what’s next?” beberapa tahun yang lalu. Sesudah SMP, aku akan lanjut SMA. Kemudian seusai lulus SMA, aku akan lanjut berkuliah. Seperti sudah diberikan jalannya, aku hanya tinggal berjalan sebaik mungkin.. jangan sampai berbelok atau terjatuh.
Sayangnya sesudah kuliah, privilege GPS otomatis itu berakhir. Aku berumur 20 tahun dan aku sama sekali belum yakin dengan jalan mana yang harus aku tempuh saat itu. Aku lulus dari perguruan tinggi dan menyadari bahwa mencari pekerjaan yang ‘pas’ tidak semudah berhitung tambah kali kurang bagi. Bahkan ternyata lebih sulit dari soal integral lipat 3 yang mati-matian aku pecahkan saat semester 1 kuliah. Aku pun ngga 100% yakin dengan keputusan untuk lanjut S2 saat itu.
Pun saat ini, setelah aku akhirnya berhasil melewati fase pekerjaan pertama, kemudian lulus sekolah S2, dan kembali menjadi seorang corporate slave, aku ngga pernah benar-benar 100% yakin dengan keputusan yang aku ambil. Dan sekarang, aku belum menentukan mau kemana nantinya. Bekerja sampai jadi manager dalam 5-7 tahun lalu resign dan membuka bisnis sendiri adalah jalur yang ideal. Tapi… ada banyak pertimbangan, ada banyak hal yang membuat pengambilan keputusan menjadi sulit.
Kita bisa menjadi apa saja saat sudah dewasa. Katanya sih begitu… dan sebenarnya memang begitu. Namun memutuskan mau jadi apa ternyata bukan perkara mudah. If I hate being a corporate slave so much, I could be unemployed forever. Lalu bagaimana aku harus mencukupi kebutuhan sehari-hari? If I like working that much, I could be very ambitious in pursuing my career. Apakah nantinya akan ada kehidupan sosial yang harus dikorbankan demi mencapai puncak karir? If I love learning and living abroad so much, I could take another 4 years for PhD. Alasan sederhana itu cukup ngga ya untuk bertahan belajar PhD?
Ada terlalu banyak pertimbagan. Dan semakin dewasa, semua keputusan harus berasal dari pemikiran yang menyeluruh. This life ain’t got no rehearsal. Jadi harus hati-hati dan ngga bisa grasa-grusu.
So, what’s next, Tics? Sudah 24 tahun. Sudah selesai belajar di institusi formal. Sudah bekerja. Well, masih banyak yang belum… yang pasti resolusi hidup belum terealisasi. Live a meaningful life. Sudah berhasil menginspirasi banyak orang kah? Sudah terus menerus belajar untuk jadi pribadi yang semakin baik kah? Sudah makin mendalami ilmu agama kah? Sudah betul-betul ngga settle for comfort kah? Sudah terceklis semua kah bucket list yang aku punya?
Kayaknya banyak yang belum dan harus dilakukan. Still can’t really define the portfolio of my life that I want to pursue… but they said, it’s okay to haven’t figure it all out yet. Lagipula, kita sebagai manusia menjalani hidup itu pieces by pieces.. sedangkan Tuhan sudah merancangnya dalam satu kesatuan, the whole puzzle. Rely upon Him and we shall find peace 🙂
Yang penting, always have courage and be kind. Selalu melakukan yang terbaik, mau belajar, dan berpikir positif. Embrace mistakes and failures, selalu berdoa dan bersyukur agar senantiasa bahagia… at last, do not ever compare your life to anyone else’s.
♥Atiqah Zulfa Nadia