Sembilan kilometer jauhnya dari Desa Dintor, Desa Wae Rebo menyimpan keindahan yang sederhana. Di mana keindahan yang sama sering luput dari orang-orang yang sehari-hari menghabiskan waktu di kota modern.
Perjalananku dimulai dari Kota Labuan Bajo. Enam jam lamanya dihabiskan di dalam mobil melalui jalur lintas Flores yang berliku-liku. Berhenti sejenak selama satu malam untuk istirahat, aku menginap di sebuah tempat peristirahatan di Desa Dintor. Penginapan tersebut biasa digunakan oleh para pengunjung Desa Wae Rebo, bisa untuk sekedar makan ataupun menginap. Tidak jauh dari sana, pendakian menuju desa yang dijuluki juga dengan Kampung Di Atas Awan dimulai.

Jalur pendakian di hari itu licin karena tanahnya yang basah. Bagi yang tidak biasa, medannya terhitung cukup sulit dan jauh. Di tengah jalan aku berpapasan dengan beberapa rombongan pengunjung yang sedang turun ke bawah. Kebanyakan dari mereka adalah turis mancanegara. Mereka menyapa selamat pagi (dalam Bahasa Indonesia) dan tidak lupa menyemangati rombonganku. Meskipun nyatanya perjalanan masih panjang, kata-kata semangat dari mereka semua memberikan energi baru. Sering juga aku bertemu dengan warga desa yang sedang turun untuk pergi ke pasar yang letaknya di desa lain. Mereka sudah gesit dan lincah melalui jalur trekking, tidak jarang di antara mereka yang berjalan sambil membawa barang-barang.
Aku bertemu Pak Benedictus yang turun gunung sambal membawa balok kayu seberat 20 kilogram. Dalam sehari, beliau bisa bolak-balik sampai tiga kali. Tanpa alas kaki, beliau memikul kayu dan menyusuri jalur becek yang di salah satu tepinya adalah jurang. “Percuma beli sandal, baru satu minggu sudah rusak lagi,” katanya.
Suara keceriaan anak-anak kecil bermain bola menyambut kedatanganku di Desa Wae Rebo. Saat itu sedang liburan sekolah, anak-anak pulang ke kampungnya. Di musim sekolah, desa tersebut hanya akan ditinggali oleh orang dewasa. Tidak ada sekolahan di sana. Memasuki umur SD, anak-anak kecil itu harus berpisah dari kedua orang tua mereka untuk bersekolah di desa lain. Terkadang seminggu sekali mereka pulang, kadang juga tidak. Meski bisa dibilang berasal dari pelosok negeri, ada juga pemuda-pemuda dari Desa Wae Rebo yang sudah menempuh pendidikan tinggi, sesekali kembali untuk bertemu keluarga.
Sebelum berkeliling desa, aku harus melapor dulu ke tetua di sana, semacam kepala adat, mohon izin untuk berkunjung dan menginap. Setelah diterima, aku resmi menjadi bagian dari keluarga di Desa Wae Rebo. Penduduk di sana sangat ramah dan sangat terbuka. Mereka bercerita tentang kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang mengolah kopi, menenun, dan menganyam bambu. Selain dari pariwisata, kegiatan-kegiatan tersebut merupakan sumber mata pencaharian masyarakat di sana.

Pagi hari, warga desa biasa memetik sayuran di kebun untuk sarapan. Akibat lokasinya yang berada di ketinggian, tidak banyak tanaman yang bisa tumbuh di sana. Sehari-hari mereka hanya menyantap sayur labu dan daunnya. Kadang juga mereka memasak keladi. Lauknya paling sering adalah telur dan sesekali ayam. Mereka mengolah makanannya hanya dengan garam dan gula. Tanpa bawang, merica, ketumbar, dan bumbu lainnya. Letak pasar yang jauh membuat masyarakat di sana terpaksa makan seadanya.
Saat matahari sudah mulai meninggi, anak-anak kecil mulai bermain. Para orang dewasa melakukan kegiatan masing-masing. Ada yang beberes membersihkan rumah dan ada juga yang bekerja. Aku melihat warga yang menumbuk kopi, mengunyah sirih, dan menenun. Proses menenun bisa memakan waktu hingga 4 bulan. Ngga heran harga kain tenun yang dijual cukup mahal. Malam hari saat sudah gelap, semua orang masuk ke rumah masing-masing. Di sana, listrik masih menggunakan genset. Saat siang, mereka menggunakan solar panel. Keren kan, meski di pelosok sudah memanfaatkan solar panel.
Terdapat 7 rumah adat di Desa Wae Rebo, semua memiliki bentuk yang sama. Setiap rumahnya ditinggali oleh satu keluarga secara turun temurun. Rumah berbentuk melingkar tersebut biasanya diisi beberapa kamar. Kamar-kamar tersebut ditempati oleh para orang tua. Anak-anak biasanya tidur di luar kamar. Dapurnya terletak di tengah-tengah. Meski terlihat seperti hanya satu lantai, sebenarnya ada 5 lantai di setiap rumah. Lantai kedua biasanya digunakan untuk menyimpan barang-barang dan lantai paling atas digunakan untuk menyimpan persembahan bagi leluhur.

Berada jauh dari kota, tanpa televisi ataupun radio, tanpa disibukkan dengan beragam teknologi dan sosial media, masyarakat Wae Rebo hidup dengan keceriaan mereka. Senyum hangat dan keramahan mereka mengingatkanku bahwa terdapat hal-hal yang lebih esensial bagi kita sebagai manusia. Gadget dan teknologi sudah terlalu banyak membuat waktu kita terbuang, sibuk dengan diri sendiri. Lupa melihat kanan kiri, tersenyum pada orang asing, menyapa orang yang tanpa sengaja bertatap mata. Padahal, ada rasa senang dan damai yang berbeda dalam berinteraksi secara langsung dengan manusia lainnya.
Wae Rebo juga yang membuatku bersyukur. Bahwa manusia, untuk bisa hidup dengan tentram dan bahagia, sebetulnya hanya perlu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Tanpa perlu barang ini, barang itu, seri terbaru handphone ini, tas model terbaru merk itu, dan lain-lain. Bahwa yang sederhana itu sudah cukup memberikan kebahagiaan. Tinggal bagaimana mensyukurinya 🙂
♥ Atiqah Zulfa Nadia