Ada yang pernah baca cerita tentang Lucy and why she’s unhappy? Kalau belum, bisa dibaca di sini:
https://waitbutwhy.com/2013/09/why-generation-y-yuppies-are-unhappy.html
Sebaiknya, baca dulu cerita Lucy sebelum melanjutkan baca post ini ya. Soalnya akan berkaitan.
Nah, apa yang dialami Lucy pernah terjadi di aku waktu baru lulus S1 dan mulai bekerja di pekerjaan pertamaku. Singkat cerita, dulu aku pikir cari kerja yang bagus dengan benefit yang melimpah itu gampang. Aku selalu look up ke pekerjaan orang tua ku dan bagaimana kehidupan yang aku jalani saat itu. Jadi, aku punya ekspektasi yang tinggi terhadap karir dan pekerjaan dan berharap kesuksesan yang instan (sangatlah mental millenials). Dan realitanya sama sekali berbeda.
Awalnya ada rasa “duh kok nasibku ngga sebagus temen-temen yang lain..” atau ngga proud dengan yang aku kerjakan saat itu dan pengen banget dapet pekerjaan yang lebih bergengsi. Atau at least punya pekerjaan yang aku suka dan aku bangga ngejalaninnya. Tapi setelah aku memutuskan untuk lanjut S2, akhirnya jadi lebih santai. Ngga lagi interview sana sini, pokoknya fokus di pekerjaanku waktu itu dan mempersiapkan banyak hal untuk kuliah lagi. Mungkin karena saat itu aku jadi punya target yang exciting ya, dan menganggap kerja cuma iseng sambil menunggu waktu kuliah tiba.
Beberapa saat sebelum pulang dari S2, aku udah niat bahwa sampai di Indonesia aku harus langsung produktif. Makanya waktu itu aku langsung apply untuk magang di salah satu startup. Sembari magang, aku juga apply kerja. Ada 2 perusahaan FMCG yang aku ikuti proses rekrutmennya saat itu dan salah satunya adalah tempatku bekerja saat ini. Nanti-nanti mungkin aku akan cerita tips buat tes kerja berdasarkan pengalaman selama ini.
Well, it’s not the best company in the world or even in the country. Tapi sekarang aku lebih serius meniti karir di tempat aku bekerja. Aku suka dengan apa yang aku kerjakan, bosku selalu develop aku dan percaya kalau aku mengerjakan tugas-tugas yang menantang. I’m not in any point where I can give you advice about achieving a particular position at the office or about becoming the best employee. Tapi ada beberapa take out dari pengalaman yang aku ceritakan tadi.
First thing first, semua orang punya timeline hidup masing-masing. Mungkin hidup kita dari kecil sampai kuliah semacam ada juklaknya ya, tapi setelah lulus kuliah tuh semua random aja. Tiap orang akan punya jalan hidup masing-masing. For some people, it’s a one lucky shot untuk dapat pekerjaan yang bagus dan sesuai keinginan. Ada lagi yang dapat kerjaan bagus, ternyata setelah dijalani jadi ngga cocok. Yang awalnya ngga suka dengan kerjaannya, lama-lama jadi enjoy juga ada. Beberapa lainnya harus pindah sana sini dulu baru ketemu yang pas. Pokoknya beragam banget ceritanya deh.
Satu hal yang temanku bilang, career is a marathon, not a sprint. After all, it’s not about the speed but about the endurance.
Kedua, setiap milestone dalam hidup pasti mengajari kita sesuatu. Pelajarannya ngga mesti relate dengan milestone itu sendiri. Misalnya, ada di pekerjaan yang kurang disukai, tapi teman-teman di kantor membuat kita paham tentang empati. Jadi harus percaya kalau apa yang kita alami saat ini akan membentuk kita yang lebih baik di masa nanti. Salah satu yang bisa dipelajari dari perjalanan berkarir adalah bagaimana menjadi profesional. Mantan director di kantorku selalu bilang, no one puts a gun on your head and force you to take this job. Jadi bekerja di tempat yang saat ini adalah pilihan kita yang dibuat secara sadar dan tanpa paksaan. Kalau ngga suka, pindah. Cari pekerjaan yang lebih baik. Jangan stay dan ngga perform. Kalau pada akhirnya memilih untuk stay, ya do our best. Jangan males, jangan ogah-ogahan, jangan mempersulit pekerjaan orang lain yang ada kaitannya dengan pekerjaan kita. Intinya, be professional. Sengga suka apapun dengan pekerjaannya, kalau kita memilih untuk stay, harus tetap perform dengan baik. Ini akan jadi nilai positif juga buat kita, karena orang lain akan lihat bahwa kinerja kita baik. It will leave them a good impression. Dan ketika akan pindah ke pekerjaan lain, recruiternya bisa mendapat rekomendasi yang positif dari teman-teman kerja kita.
Terakhir, set our own standards. Ada yang punya ambisi besar, ada yang merasa cukup dengan karir yang biasa-biasa aja. Ada yang cinta mati dengan perusahaan, ada yang bekerja sekedarnya. Ngga ada yang benar, ngga ada yang salah. Semua preferensi masing-masing orang aja. Tapi kita harus set standar kita sendiri. Mau kerja dimana, mau posisi apa, mau hidup yang kayak gimana. Do not settle for comfort, but settle to the standards we made for ourselves. Dan yang terpenting, jangan compare dengan orang lain. Karena setiap orang berbeda-beda. Rezeki juga udah ada yang atur. Live for our own personal achievement, dan untuk orang-orang sekitar yang kita sayangi.
Nah itu sedikit cerita tentang pekerjaan, yang mungkin akan berlanjut juga di post berikut-berikutnya. Satu prinsip yang selalu aku ulang-ulang; nobody in life gets exactly what they thought they were going to get, but if you work really hard and you’re kind, amazing things will happen.
It did. It does. And I believe it always will..
♥️ Atiqah Zulfa Nadia