Marriage: A Perspective

Tadi malam ngobrol-ngobrol seru dengan beberapa teman, sampai akhirnya kesinggung juga masalah pernikahan. Ngga bisa dipungkiri ya kalau topik ini emang lagi pas banget diomongin di umur segini.. obrolannya singkat, tapi cukup untuk membuatku berpikir di sepanjang jalan pulang. Terus jadi keinget untuk nulis tentang menikah.. dari perspektif aku, dengan fair dan jujur. Jadilah tulisan ini dibuat.

Kenapa fair dan jujur? Karena sebelum nikah dulu, aku cukup tergelitik dengan pendapat orang-orang yang sangat mendewakan menikah. Well, maybe they aren’t wrong, but their opinion can be misleading. Contoh, “nikah enak banget cuy..” atau “nyesel gue nikah, nyesel kenapa ngga dari dulu” dan ungkapan-ungkapan lain yang menurutku menjadikan menikah cukup overrated. Orang jadi menganggap menikah adalah solusi dan jalan keluar, sebuah happy ending layaknya fairytale. Dari dulu aku selalu wonder, masa iya seindah itu? Bukannya pesimis, tapi aku yakin bahwa menikah adalah hal besar dan semua hal besar pasti butuh persiapan, butuh di-handle dengan baik, dan juga perhatian ekstra. Semakin besar sesuatu, challenge-nya juga semakin banyak. Makanya perspektif ini akan aku buat dengan jujur dan semoga ngga misleading buat yang membaca.

Menikah itu menyenangkan, tapi perjalanannya ngga mulus melulu. Tentu menyenangkan dong punya teman hidup, yang bisa diajak menjalani hobi bareng, berkarya bareng, diskusi banyak hal tiap hari tiap malem. Aku baru 2 bulan lewat dikit menikah dan menyadari bahwa ke depannya it won’t be easy peasy. Bahkan di bulan-bulan yang sudah aku lalui, ada juga hal-hal cukup berat yang harus diputuskan bersama, ada pengorbanan yang harus dilakukan, dan pastinya penyesuaian. Oleh karena itu, menikah butuh persiapan untuk meghadapi itu semua.

Banyak orang super sibuk dengan persiapan acara akad dan resepsi – perhelatan akbar sekali seumur hidup. Don’t get me wrong, aku pun sibuk merealisasikan the wedding of my dream saat itu. Tapi Jihan juga selalu ingetin untuk menyiapkan mental dan ilmu untuk menikah. Orang tuaku juga memfasilitasi dengan pembekalan pranikah dari ustadzah. Ini menurutku penting, soalnya kan agama adalah way of living, jadi pernikahan juga harus dijalani sesuai dengan petunjuk di agama. Temanku yang beragama lain pun punya pendekatan yang sama ketika mau menikah, ada pembekalan agamanya juga.

Ilmu lainnya, seperti manajemen keuangan, baca-baca tentang parenting, dan sharing dengan orang lain yang sudah menikah juga perlu. Tapi perlu digarisbawahi, semua orang punya ceritanya masing-masing dan pendekatan yang mereka lakukan belum tentu berhasil di hidup kita.

Tadi aku sempat menyinggung tentang penyesuaian. Bisa dibilang juga adaptasi. Nah di awal-awal menikah ini yang aku rasa challenge-nya ya adaptasi ini. Klise sih, tapi faktanya gitu. Adaptasi satu sama lain, plus adaptasi dengan keluarga pasangan. Nanti next levelnya adaptasi dengan keluarga besar dan teman-temannya. Penyesuaian dengan diri sendiri yang punya peran baru aja adalah sebuah tantangan, lho. Misal, jadi istri sekarang harus nurut sama suami, mau pergi izin dulu, lalu harus menyesuaikan kegiatan dengan waktu yang diizinkan suami, dan lain-lain.

Ini baru satu dari banyak tantangan lain dalam pernikahan dan membangun rumah tangga. Satu hal yang penting adalah saling support. Kerja sama di tugas rumah tangga, saling back up dan bantu, sering komunikasi dan sharing. Soalnya dalam menghadapi segala tantangan itu, berdua akan lebih baik daripada sendiri. We gotta work things out together, gitu kira-kira prinsipnya. Sambil terus menerus saling mendoakan.

Kalau ditanya pendapat tentang pernikahan, aku akan jawab, aku meng-encourage orang untuk menikah. It is indeed fun, it is such an adventure dan pada beberapa kesempatan, banyak keuntungan dari menikah yang aku rasakan. Namun jangan beranggapan asyiknya aja. Apalagi berpikir kalau nikah adalah solusi dari lelah kerja dan bikin skripsi. Jangan juga keputusan untuk menikah didasari impulsivitas, kepatok umur, desakan society, dan hal-hal lain yang bukan bentuk dari kemauan dan kesiapan diri. Kalau pengalaman aku, ada satu titik dimana aku merasa aku serius untuk mau menikah (bukan cuma bercanda dan ucapan asal-asal aja). Dari situ mulai deh persiapannya, dari berdoa, banyak memperbaiki diri supaya dapat jodoh yang baik juga, sampai mengimprove diri sendiri dari berbagai aspek. Kayak tergerak aja gitu, Alhamdulillah diberikan jalannya. The right moment will come…

Last but not least, jangan takut menikah. Apalagi takut sama hal-hal yang mungkin terjadi dalam pernikahan. Ngga ada yang bisa guarantee seperti apa endingnya, atau apa yang bakal terjadi di awal atau pertengahan. Tapi selama niatnya baik, sama partner saling support dan berjuang, mudah-mudahan apapun bisa dilalui bersama. Mudah-mudahan juga bisa selamanya 🙂

♥️ Atiqah Zulfa Nadia

Advertisement