Does All Improvement Necessary?

Sudah pada tau tentang startup lokal bernama Wahyoo dan Warung Pintar? Kalau belum, bisa cek google untuk tau detailsnya. Secara singkat, dua startup ini memberikan sentuhan teknologi pada bisnis tradisional di Indonesia, seperti warteg (Wahyoo) dan warung rokok pinggir jalan (Warung Pintar).

Kemarin aku dan Jihan makan di salah satu kedai bubur terkenal dan melegenda di Jakarta Pusat. Terlepas dari rasa, ada beberapa hal yang kurang pas dari pengalaman kami makan di sana. Apalagi dari sudut pandang anak manajemen dan anak teknik industri, bikin geregetan. Pertama, pelayannya kewalahan melayani pengunjung yang saat itu cukup ramai, mereka bahkan ngga mencatat pesanan – kalau kondisi sedang sepi mungkin cara mengingat pesanan ini lebih praktis, tapi nyatanya kalau sedang ramai jadi berantakan dan salah-salah. Lupa pesanannya apa, ngga ingat pelanggan mana yang duluan datang, dan lain-lain. Kedua, stok empingnya habis (entah sejak kapan) dan baru tiba ketika aku dan Jihan selesai makan. Jadilah kami berdua ngga dapat emping.

Dari situ jadi iseng berpikir kenapa warung yang pastinya omzetnya besar ini (karena legendaris dan selalu ramai) ngga melakukan improvement untuk memperbaiki layanan dan manajemennya?

Hasil ngobrol-ngobrol iseng aku dan Jihan, bisa jadi karena mereka ngga mengenal improvement.

Kedai bubur ini sederhana tempatnya, ada gerobak, kasir, dan kursi serta meja makan untuk tamu. Begitupun dengan bisnisnya, sederhana juga. Semua masih tradisional. They do their business as they did years ago. Yet people keep coming back, jadi mereka ngga merasa harus mengubah apa-apa. Mereka mungkin ngga tau bahwa opsi improvement itu ada.

Ini yang menarik dari bisnis kuliner tradisional, rasa dan legendanya itu bisa mempertahankan posisinya di pasar. Beda dengan bisnis lain yang harus terus menerus berinovasi, marketing ini itu, promo sana sini, untuk menjaga posisinya di antara kompetitor lain. Well, we’re not talking about that tho.

Jadi, manajemen kedai bubur ini bisa jadi ngga mengenal konsep improvement. Yang dia tau adalah berjualan, untung rugi, kualitas bubur, pembeli kenyang dan datang lagi. They just know they survive and that’s enough.

Lalu, gimana kalau mereka ditawarkan dengan opsi improvement? Apa yang akan terjadi kalau suatu hari ada orang yang datang ke sana dan menawarkan improvement untuk bisnisnya?

There’s always two options. Ya dan tidak. Inilah kenapa aku menyinggung dua startup sebelumnya, yang mencoba memberi benefit-benefit teknologi kepada toko tradisional supaya toko tersebut menjadi lebih baik. Yang aku tau, customer dari Wahyoo dan Warung Pintar ini sudah lumayan banyak, yang artinya banyak pebisnis tradisional yang tertarik – at least ngga reluctant terhadap teknologi dan perubahan.

Then, we have to look at it for a longer period. Akankah bertahan? Masihkah teknologi itu digunakan dalam 6 bulan, satu tahun, atau 2 tahun ke depan? Apakah penjualnya merasakan dan memahami manfaat dari teknologinya?

Semua tergantung dari seberapa effort dan benefitnya.

Menurut aku pribadi, it’s easy to change a system, a business process. Tapi, mengubah behavior orang itu sulit. Sebelum kita menerapkan berbagai teknologi dan sistem yang sekiranya bisa memberi improvement, kita harus bisa memengaruhi pikiran dari orang-orangnya. Bukan hanya membuat mereka bilang “ok” tapi juga membuat mereka paham betul bahwa mereka butuh improvement – dan solusi yang ditawarkan betul-betul bisa membantu mereka. Or else, improvement yang ada hanya bersifat sementara, ngga sustain. Karena orang-orang yang menjalankan bisnisnya belum memiliki urgensi untuk berubah.

Di bisnis kelas multinasional pun, perubahan ngga gampang diterima oleh semua karyawan. Sebagian karyawan lebih suka mengerjakan yang sudah biasa dikerjakan, dengan cara yang biasanya, di mana outputnya ngga jauh berbeda dengan sistem yang baru.

Dari sini aku tau pentingnya manajemen inovasi. Waktu S2, aku belajar bahwa sebuah inovasi itu harus dibuat semirip mungkin dengan kebiasaan saat ini. Sehingga effort orang-orang untuk berubah hanya sedikit, namun benefitnya bisa bertambah. Salah satu hal yang menentukan berhasil atau tidaknya inovasi, ya seberapa mudah orang beradaptasi ke sistem atau produk yang baru.

Aku yakin kedai bubur yang aku kunjungi akan senantiasa ramai selama dia tetap menjaga rasa dari makanan yang disajikan. Some improvements with the service would be good, but I don’t think it’s that necessary… yet.

♥️, Atiqah Zulfa Nadia

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s