Aku punya alasanku sendiri, kenapa tidak pernah mau kepo tentang cerita melahirkan seseorang. Tidak pernah banyak bertanya, apalagi di hari hari pertama. Cukup ucapan selamat dan turut berbahagia.
Kalaupun ada yang bercerita, aku cukup mendengarkan saja. Tidak banyak komentar, karena ada banyak rasa dalam satu peristiwa.
Bahkan ke orang terdekat sekali pun.
Aku akan fokus ke betapa sehat dan lucunya si bayi dan makanan apa yang diidamkan si ibu. Secukupnya aja, tidak berlebihan juga.
Karena aku tau betapa satu kalimat, satu respon, bisa mengubah hidup seorang ibu. Mungkin tanpa maksud apa apa, tapi membekas, merusak momen yang harusnya hanya ada bahagia.
Aku pun tau betapa kelakuan seseorang yang insensitif, yang tidak memikirkan orang lain, bisa membuat raga yang sudah letih semakin letih. Dan kesal.
Lalu orang mungkin bertanya “kenapa tidak dimaklumi saja? Orang kan beda beda. Dia tidak ada maksud buruk.” Aku, jika dalam keadaan terbaikku, mungkin (seperti yang selalu) akan menganggap semua angin lalu.
Tapi aku, saat itu, juga dengan marah bertanya “kenapa tidak sensitif dan sungguh jahat pada orang yang sedang (akan, atau baru saja) mempertaruhkan hidup dan matinya?”
Sayangnya memaafkan bukan hal yang mudah.
Kata seorang ahlinya, aku hanya perlu melakukan hal hal yang membuatku senang saat akan berhadapan dengannya. Supaya dendam ini tidak memicu amarah yang membuncah.
Aku cuma mau minta maaf sama Tuhan, karena tidak (atau belum) bisa memaafkan.
Tapi aku juga berharap Tuhan mengerti hambaNya yang lemah ini, karena memang cuma Tuhan yang paham… sakitnya, marahnya, bingungnya.
Kalau kata bukunya Hannah dan Mahira, “tenang saja Allah akan menjaga kita”
Semoga Allah jaga ibu, supaya bisa jaga Hannah dan Mahira… selamanya.