Wae Rebo, Pelajaran dari Atas Awan

Sembilan kilometer jauhnya dari Desa Dintor, Desa Wae Rebo menyimpan keindahan yang sederhana. Di mana keindahan yang sama sering luput dari orang-orang yang sehari-hari menghabiskan waktu di kota modern.

Perjalananku dimulai dari Kota Labuan Bajo. Enam jam lamanya dihabiskan di dalam mobil melalui jalur lintas Flores yang berliku-liku. Berhenti sejenak selama satu malam untuk istirahat, aku menginap di sebuah tempat peristirahatan di Desa Dintor. Penginapan tersebut biasa digunakan oleh para pengunjung Desa Wae Rebo, bisa untuk sekedar makan ataupun menginap. Tidak jauh dari sana, pendakian menuju desa yang dijuluki juga dengan Kampung Di Atas Awan dimulai.

IMG_0057

Jalur pendakian di hari itu licin karena tanahnya yang basah. Bagi yang tidak biasa, medannya terhitung cukup sulit dan jauh. Di tengah jalan aku berpapasan dengan beberapa rombongan pengunjung yang sedang turun ke bawah. Kebanyakan dari mereka adalah turis mancanegara. Mereka menyapa selamat pagi (dalam Bahasa Indonesia) dan tidak lupa menyemangati rombonganku. Meskipun nyatanya perjalanan masih panjang, kata-kata semangat dari mereka semua memberikan energi baru. Sering juga aku bertemu dengan warga desa yang sedang turun untuk pergi ke pasar yang letaknya di desa lain. Mereka sudah gesit dan lincah melalui jalur trekking, tidak jarang di antara mereka yang berjalan sambil membawa barang-barang.

Aku bertemu Pak Benedictus yang turun gunung sambal membawa balok kayu seberat 20 kilogram. Dalam sehari, beliau bisa bolak-balik sampai tiga kali. Tanpa alas kaki, beliau memikul kayu dan menyusuri jalur becek yang di salah satu tepinya adalah jurang. “Percuma beli sandal, baru satu minggu sudah rusak lagi,” katanya.

Suara keceriaan anak-anak kecil bermain bola menyambut kedatanganku di Desa Wae Rebo. Saat itu sedang liburan sekolah, anak-anak pulang ke kampungnya. Di musim sekolah, desa tersebut hanya akan ditinggali oleh orang dewasa. Tidak ada sekolahan di sana. Memasuki umur SD, anak-anak kecil itu harus berpisah dari kedua orang tua mereka untuk bersekolah di desa lain. Terkadang seminggu sekali mereka pulang, kadang juga tidak. Meski bisa dibilang berasal dari pelosok negeri, ada juga pemuda-pemuda dari Desa Wae Rebo yang sudah menempuh pendidikan tinggi, sesekali kembali untuk bertemu keluarga.

Sebelum berkeliling desa, aku harus melapor dulu ke tetua di sana, semacam kepala adat, mohon izin untuk berkunjung dan menginap. Setelah diterima, aku resmi menjadi bagian dari keluarga di Desa Wae Rebo. Penduduk di sana sangat ramah dan sangat terbuka. Mereka bercerita tentang kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang mengolah kopi, menenun, dan menganyam bambu. Selain dari pariwisata, kegiatan-kegiatan tersebut merupakan sumber mata pencaharian masyarakat di sana.

20170702_151112

Pagi hari, warga desa biasa memetik sayuran di kebun untuk sarapan. Akibat lokasinya yang berada di ketinggian, tidak banyak tanaman yang bisa tumbuh di sana. Sehari-hari mereka hanya menyantap sayur labu dan daunnya. Kadang juga mereka memasak keladi. Lauknya paling sering adalah telur dan sesekali ayam. Mereka mengolah makanannya hanya dengan garam dan gula. Tanpa bawang, merica, ketumbar, dan bumbu lainnya. Letak pasar yang jauh membuat masyarakat di sana terpaksa makan seadanya.

Saat matahari sudah mulai meninggi, anak-anak kecil mulai bermain. Para orang dewasa melakukan kegiatan masing-masing. Ada yang beberes membersihkan rumah dan ada juga yang bekerja. Aku melihat warga yang menumbuk kopi, mengunyah sirih, dan menenun. Proses menenun bisa memakan waktu hingga 4 bulan. Ngga heran harga kain tenun yang dijual cukup mahal. Malam hari saat sudah gelap, semua orang masuk ke rumah masing-masing. Di sana, listrik masih menggunakan genset. Saat siang, mereka menggunakan solar panel. Keren kan, meski di pelosok sudah memanfaatkan solar panel.

Terdapat 7 rumah adat di Desa Wae Rebo, semua memiliki bentuk yang sama. Setiap rumahnya ditinggali oleh satu keluarga secara turun temurun. Rumah berbentuk melingkar tersebut biasanya diisi beberapa kamar. Kamar-kamar tersebut ditempati oleh para orang tua. Anak-anak biasanya tidur di luar kamar. Dapurnya terletak di tengah-tengah. Meski terlihat seperti hanya satu lantai, sebenarnya ada 5 lantai di setiap rumah. Lantai kedua biasanya digunakan untuk menyimpan barang-barang dan lantai paling atas digunakan untuk menyimpan persembahan bagi leluhur.

IMG_0175

Berada jauh dari kota, tanpa televisi ataupun radio, tanpa disibukkan dengan beragam teknologi dan sosial media, masyarakat Wae Rebo hidup dengan keceriaan mereka. Senyum hangat dan keramahan mereka mengingatkanku bahwa terdapat hal-hal yang lebih esensial bagi kita sebagai manusia. Gadget dan teknologi sudah terlalu banyak membuat waktu kita terbuang, sibuk dengan diri sendiri. Lupa melihat kanan kiri, tersenyum pada orang asing, menyapa orang yang tanpa sengaja bertatap mata. Padahal, ada rasa senang dan damai yang berbeda dalam berinteraksi secara langsung dengan manusia lainnya.

Wae Rebo juga yang membuatku bersyukur. Bahwa manusia, untuk bisa hidup dengan tentram dan bahagia, sebetulnya hanya perlu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Tanpa perlu barang ini, barang itu, seri terbaru handphone ini, tas model terbaru merk itu, dan lain-lain. Bahwa yang sederhana itu sudah cukup memberikan kebahagiaan. Tinggal bagaimana mensyukurinya 🙂

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Advertisement

Cipika Cipiki Cipika

Sudah lama ya ngga cerita-cerita tentang pengalaman traveling dan tinggal di luar negeri.. kebetulan momennya pas, aku mau share tentang serunya hidup bersama sesama muslim waktu di Manchester dulu. Satu hal yang paling menarik buatku adalah kebiasaan cipika cipiki yang sedikit berbeda dari biasanya. Di Manchester, cium pipinya tiga kali, bukan dua kali. Pipi kanan, pipi kiri, lalu pipi kanan lagi. Jadi, instead of cipika cipiki, nama yang tepat adalah cipika cipiki cipika 😀

Aku ngga pernah tau asal muasal kenapa harus tiga kali.. tapi semua orang begitu. Baik orang Indonesia yang tinggal di sana ataupun umat muslim yang berasal dari negara lain. Jadi aku ikutan aja.

Selama di Manchester aku ngga merasakan perbedaan yang terlalu signifikan dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim. Shalat ya shalat, puasa ya puasa, rutin juga datang ke pengajian bulanan. Islamic Society di kampus juga ngga jarang mengadakan kajian dengan mendatangkan ustad-ustad kondang (kondang versi internasional, yang kadang aku juga ngga pernah dengar).

Yang paling aku suka adalah bagaimana orang-orang di sana solid sekali 🙂 kalau mau ada pengajian bulanan, ramai-ramai masak menu makanan Indonesia yang menjadi salah satu daya tarik untuk datang ke pengajian. Di bulan Ramadhan dan hari raya pun pasti ada aja undangan bukber atau open house. Hidangannya pun mewah banget. Buat aku yang anak rantau, makan mendoan dan bala-bala aja udah mewah luar biasa. Apalagi kalau bisa langsung disantap tanpa repot-repot ngadon. Tapi biasanya makanannya bukan sekedar bala-bala dan mendoan. Ada bakso, somay, es pisang hijau, rendang, gulai, dan masih banyak lagi deh….. (makanya di sana ngga kangen Indo, tapi pas di Indo selalu kangen Manchester hehe). Setiap pulang dari acara kumpul-kumpul pun selalu bawa kantong plastik isi makanan.

Aku senang aja melihat orang-orang rela bercapek-capek dan mengeluarkan effort yang cukup besar untuk bisa kumpul-kumpul. Melepas rindu kampung halaman, bertukar cerita, berkeluh kesah dari mulai masalah disertasi sampai masalah jodoh, dan sedikit banyak belajar tentang agama juga.

Selain orang muslim dari Indonesia, muslim dari negara lain pun ngga kalah baiknya. Aku beberapa kali diundang makan bareng oleh temanku dari Mesir dan satu lagi orang Pakistan yang lahir dan besar di UK. Aku jadi bisa mencicipi makanan khas negara mereka, deh. Ngga tanggung-tanggung, mereka menyiapkan 3 course menu setiap kali mengundang makan bareng (and you may guess, I’m always falling in love with the desserts). Ketika kumpul kami sering ngobrol tentang kebiasaan puasa, lebaran, dan lain-lain di negara asal masing-masing. Walaupun beragam (even kadang cara kami beribadah aja berbeda), tapi kami sama-sama muslim. And that’s kind of a strong bond already.

Tanpa disadari, keberadaan mereka di Manchester menjadi salah satu alasan kenapa Manchester, meskipun jauh, adalah rumah kedua.

 

♥Atiqah Zulfa Nadia

Finding Gems in Charity Shops

Anyone been to Big Bad Wolf? I just went there this morning and found some pretty good deals. Most of them are good deals, actually. If you’re asking, Big Bad Wolf is a book sale event where you can get cheap new books (for half price or even less). Located in ICE, BSD. Long way ride, indeed. But if you’re a bookworm just like me, the event is worth coming to.

And yesterday I started watching the brand new netflix series: Girlboss. I have watched it up to episode 5 and I’m going to continue watching. Because it’s damn good. There’s not too much romance (well, at least until episode 5) and it’s very real. Very 23-years-old-woman’s life; hate becoming an adult, confused, and continuously searching for things that we really do want to do in life – for the rest of our life. Well, basically it’s about a girl who manages an e-bay business. She goes to charity shops and then looking for some treasures. Once found, she sells it online. (I hope this isn’t too much of a spoiler).

So, those 2 things have reminded me of what it’s like finding gems in charity shops. When I was living in Manchester, I’m quite a fan of charity shops. If you’re wondering, it’s a place where people give their unused stuffs and then the shop re-sell it with cheap price. All the money that comes will be given for charity. I wonder if this kind of business model can also be implemented in Indonesia.. I believe we all have too much clothes in our wardrobe which are rarely worn, too much books on the shelf just for collection, and too much stuffs in our house just because we think someday we might need them. Don’t we?

There are so many charity shops in Manchester. Got one just right in front of my hall door. They sell clothes, shoes, books, kitchen utensils, home appliances, and so on. There are more charity shops in Didsbury. Charity shops are standing side by side.

4db159c7d6cea067e2ec101500da0b44
Isn’t this charity shop very cute? (Source: pinterest.com)

My friend, Agnes, is the one who told me for the very first time that I can actually find gems in charity shops. Honestly I’m a bit skeptical about buying clothes in charity shops (what if the previous owner got a skin disease or has been wearing it so recklessly?). So I never did. But I did check them out, I moved from one aisle to another just to look at the clothes the try them on in the fitting room. And there were many good stuffs, indeed. I just need to be patient.

It’s a bit like gambling, actually. You never really know what you’re going to get. It’s either you find nothing or you find something really-really good that makes you scream “so much win!“.

Since I didn’t buy clothes, I bought another thing from charity shops. Books. Mostly cook books. I got Gordon Ramsay’s cook book with his signature on it for less than £4. So it’s around IDR 80,000. Isn’t that amazing?? The charity shops have various kinds of book, but they may not have all. I also bought Malcolm Gladwell’s The Tipping Point from a charity shop.

I kinda miss strolling down Didsbury road, going in and out of charity shops, and then being overly satisfied when I found good stuff for a cheap price. Or maybe I just simply love the experience of shopping in charity shops, seeing the vintage goods, having short conversation with old people in the shops (because the customers are mostly elderly people that would gladly comment “oh that jacket looks good on you, love”), or maybe I just like the idea of people in Manchester are not ashamed of buying secondhand goods. On the plus side, if someone buys something from charity shops, she’s also doing a charity, right?

 

Well, something good is sometimes found in the most unexpected place, isn’t it? 🙂

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Weekend Getaway to Bandung

Bandung, undoubtedly, has been the favorite weekend getaway destination for people in Jakarta. Not only it is considerably close to the city but also because it offers various attractions and places to visit, including culinary and shopping destination. Who wouldn’t love to chill around the old city of Braga? Or enjoy the nature in Lembang? And some other people might just hopping from one factory outlet to another for the sake of great shopping deal (is it really a great deal, though?). Well, whatever it is your purpose to visit Bandung, it always has a story to tell.

I went to Bandung with my best friends and stayed there for 2 days and 2 nights. Be it a small city, it is so unlikely that you can visit all of the attractions and the current-popular places in 2 days. So our itinerary was quite packed. We visited 4 places, all of them are common places everyone would go if they’re visiting Bandung. Millennials are afraid of missing out something (yes, that FOMO syndrome) so there we went: Roti Gempol, The Lodge Maribaya, Farmhouse Lembang, and Dusun Bambu.

But first, I’m gonna share my accommodation in both Bandung and Lembang. The first one, which is located in Bandung, is The Attic Bed & Breakfast. Found it on Booking.com and someone else’s blog. The review is good and it is very affordable. We booked the accommodation for 2 rooms (1 shared bathroom, 1 en-suite) and it only costs us IDR 450,000. The room was comfortable and most importantly, the bathroom was very clean. It has self service kitchen for all guests to have breakfast. We arrived at the place almost in the middle of the night and thankfully the owner was still up to open the door for us. Too bad we only stayed for a night, it would have been nicer if we could spend more time there.

20170121_073848

The next accommodation is Trizara Resort. My best friends and I were looking for a place for glamping (glamorous camping). Well, that’s another what-nowadays-millennials-should-do. The most famous one is actually Legok Kondang in Ciwidey but since our plan was to explore Lembang area, we have to search for glamping site near Lembang. Luckily we found this newly opened glamping site called Trizara Resort. The tent was very comfortable, it was so warm although the rain was falling so hard during our stay. The service was good, the wifi worked quite fine. It offers free sport activity in the morning, could be zumba or yoga. The room price already includes breakfast, it was pretty much a good deal (I guess?). Our room price was IDR 1,815k. You can order a BBQ for the night, too. We all love the place very much and had a very pleasant time.

img_561120170122_092325

Roti Gempol

I heard about this place from my brother in law who spent his undergraduate year in Bandung. He said that this bread shop is legendary. I went there and tried roti gandum bakar and donat kentang. The roti gandum bakar was simply good but the donat kentang was super good. Not to mention that I love the coffee, too. It’s a small place but comfortable enough to eat in. The price was so affordable, for one loaf of bread it costs us around IDR 45k (we ordered a loaf of bread for sharing). The place is located in Jalan Gempol, it wasn’t so hard to find the place. Another plus for Roti Gempol is that the waitresses are very nice (or maybe every people in Bandung is considerable nicer than people in Jakarta?).

20170121_08042620170121_083342

The Lodge Maribaya

Went uphill from Bandung to Lembang, our destination was The Lodge Maribaya. It was the place where you can see pine woods (if it is a pine woods) and take pictures with a great scenery. But, every good picture must pay a price. To take pictures in the mountain swing, I had to pay around IDR 20-25k and queued for more than 2 hours. Not to mention that I had to stand very closely to the person in front of me to avoid anyone interrupting the line. Actually there are several spots to take the so-called good pictures. You can also take pictures in sky tree, sky bamboo (these two are similar to the one in Kalibiru), and bicycle something (I forgot the name). All of them requires you to have no phobia with height. And they require you to be patient, too. As we spent a lot of time queuing, we didn’t get much time to chill around The Lodge. We finished taking pictures at almost 2 o’clock and then ate lunch in one of the restaurant inside The Lodge. To be honest, the food was just so-so. I would prefer eating somewhere else. Make sure that you go there early enough so you don’t have to queue for too long and get exposed to too much sun.

20170121_124921

Farmhouse Susu Lembang

This place is perfect for family. It has many cute spots for taking pictures and many fun activities for the kids. Visitors can rent clothes and wear it to wander around. There is hobbit house which is pretty similar to the one in New Zealand, where people can take picture. The kids would love to play with animals. There are rabbits, sheep, cow (and baby cow), mini hedgehog, guinea pig, lizards, birds, and so on. Beware as the smell would be displeasing. There are many shops and restaurants inside the area and you can buy souvenirs too. The place is less crowded than The Lodge and perfect for chilling around. As I grow older I feel like chilling around is equally important to doing some physical activities that triggers your adrenaline as it gives me quality time with my loved ones (nah, it was just me trying to find an acceptable reason for being lazy). There is also a love bridge, similar to the one famously known in Paris and Korea, where you chain a padlock to a bridge. You have to write your own name and your lover’s name on the padlock. It’s super cheesy and a waste of money, indeed. Even in Paris it was actually damaging the bridge and the padlock was finally removed from the bridge. Overall, I recommend this place to a family with little kids. They’re gonna love it.

20170121_16470020170121_170151

Dusun Bambu

This is another popular place in Lembang and one will need the whole day to explore every area in Dusun Bambu. There are restaurants, food court, flower garden, and playing area where visitors can spend their time at. I was enchanted by the Alice and Wonderland labyrinth where kids can play with rabbits (this kind of thing never fails me). My best friends and I didn’t explore the whole area because we had to catch the train back to Jakarta. Thus I can’t tell much about this place either. Still, I got pictures for you.

20170122_110837

img_5642

So, that’s a wrap for my trip to Bandung. It was a very fun trip! Because, as always, journey is made by the people you travel with 🙂

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Edinburgh

This is a city of shifting light, of changing skies, of sudden vistas. A city so beautiful it breaks the heart again and again. – Alexander McCall Smith, about Edinburgh.

Surely Edinburgh is a beautiful city. Very beautiful it even inspired most of the scenes in J.K. Rowling’s book: Harry Potter (or at least that’s how people of Edinburgh claim it). But, true, J.K. Rowling wrote the book in that city. I went to Edinburgh for the 2016 new year. So, yeah, this post is long overdue. I got another chance to visit the city again on June last year, though. Sadly it was not for a vacation.

There are plenty of places to visit in Edinburgh and also plenty of instagramable corners. Be sure that you don’t look as ugly as I was in my winter outfit. But also be sure that you’re warm enough in a nice outfit as the weather is so cold and dry during winter it could make your skin bleed. It is not much of a difference in other seasons, so get wrapped up!

Old Town of Edinburgh

Economics geek out there, here’s where you will find the statue of Adam Smith. He is Scottish so no wonder why the statue lies in Scotland. As I walk along the Old Town, there are many shops, restaurants, and cafes on both sides of the road. Most of the shops are selling souvenirs and cashmere. I saw many bags and clothing made from tweed as well. It is so Scotland. And don’t forget the skirt with square pattern. The road was full of pedestrians. Every 500 meters or so, there’s a man with Scotland’s traditional cloth entertains people passing by by playing bagpipes.

Edinburgh Castle

img_8007

It was my first castle visit in UK. I was disappointed because all I was thinking about is Disney’s Castle, the Sleeping Beauty Castle. Yet castles in UK are just… castles. More like a fort than a palace. The castle is huge and if you like history, you will have a good time strolling around. I had my favorite part of the castle when I went up a tower and all around me were pictures that illustrate the story of Scotland’s Kingdom. Every once in a while a recording which tells the story related to the picture. So it was very educating and somewhat interesting. I got to see the crown as well!

Calton Hill

I don’t quite know the purpose of this hill but the view of the city of Edinburgh from this hill is stunning! I’m pretty sure it’s a walking distance from the train station (it’s been quite long time ago, so pardon me as I’m finding it’s hard to remember every bit of the trip). Climb several steps up, and you’re there at Calton Hill. The steps aren’t as much as Batu Cave in Malaysia, so don’t worry.

Arthur’s Seat

img_8139

I went there at night, for new year’s eve. When I was there all I could see was fireworks (not even city lights). If you like hiking, Arthur’s Seat is a must go place in Edinburgh. I’ve seen pictures of some of my friends who visited this place in the morning or in the afternoon and it is very beautiful (gotta say Peak District is prettier, though). Be sure to follow the right path, not the shortcut. Especially if you’re not a pro.

Harry Potter Tour

As I’ve mentioned earlier, Edinburgh is the city where J.K. Rowling wrote Harry Potter. You can even visit the cafe where she wrote the magical story; The Elephant House. It’s located not too far away from the National Museum of Scotland. You can also see the hotel where J.K. Rowling stayed in Edinburgh which is the Balmoral. Even there’s a tour run by locals that takes you to places which is said to have inspired the writer. A grave, a building, a small road, etc. There’s no fixed fare for the tour, but you have to pay the guide a tip. Depends on how much you’re crazy about Harry Potter, you’re going to love this an hour walking tour around the city of Edinburgh with lots of explanation about how the city is closely related to the story of Harry Potter.

And.. that is as much as I could remember about my trip to Edinburgh. It is definitely a wonderful place to visit. 3 days and 2 nights is a plenty enough time for traveling around the city. You will also find various types of accommodation that you can choose. Finding places to eat isn’t hard. There’s a Malaysian restaurant with reasonable price and delicious taste near Old Town. Subway, McD, and KFC are available in a mall near the train station. You can take the hop on hop off bus, if you like. Or simply travel around by walking, it’s healthier and you might find a gem in the middle of your way. Like these ones.

 

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Study Abroad 101: Ujian Semester

It’s December already! Setahun yang lalu, di waktu-waktu seperti saat ini, aku lagi sibuk menyiapkan rencana liburan winter sambil mencicil bahan-bahan untuk ujian. Liburan winter itu berlangsung sekitar satu bulan. Setelah itu langsung disambut dengan ujian akhir semester. Beberapa universitas lain di UK sih ujiannya dilakukan sebelum libur. Tapi di Manchester malah sebaliknya.

Waktu mau ujian itu, aku bener-bener belajar giat. Sebelumnya aku ngga pernah belajar ‘segila’ itu. Dulu dengan latihan soal-soal aja kayaknya cukup, tapi berhubung di S2 kemarin aku ambil jurusan bisnis, jadi aku harus banyak baca dan pinter mengarang bebas. Ada tiga mata kuliah yang salah satu komponen nilainya adalah exam. Nah, tiap mata kuliah itu beda-beda jenis soalnya, approach dosennya, dan pastinya cara belajar dan mengerjakan soalnya. Here’s how they are and some tips to nail them.

#1
Ujian pertamaku waktu itu adalah Innovation Management. Sebelum liburan, dosennya udah memberi contoh soal-soal yang dikeluarkan di exam tahun-tahun sebelumnya. Tipe soalnya adalah case study. Jadi ada satu paragraf kasus dan 2-3 pertanyaan. Yang seru dari mengerjakan case study adalah tiap orang pasti punya sudut pandang dan persepsinya masing-masing. So basically there’s no completely wrong answer if we provide a good argument. Di H-1 ujian, dosenku memberikan case study untuk dikerjakan keesokan harinya (semua case study di kirim lewat email, tapi kita ngga ada yang tau apa pertanyaannya).
Ini memudahkan banget sih, soalnya saat ujian kita hanya punya waktu 3 jam. Kalau case study-nya baru dibaca saat itu juga, kayaknya ngga bakal selesai deh. Dari sekian banyak case study, nantinya aku cuma harus mengerjakan 4 buah. Nah di H-1 itu aku sorenya kumpul bareng temen-temen sekelas untuk diskusi. Kupas tuntas case study-nya dan bikin perkiraan kira-kira pertanyaan apa yang bakal keluar dan gimana jawabannya. Sekalian juga buat recall teori-teori dan penjelasan dosen rame-rame.
Fyi, aku termasuk orang yang harus ada waktu untuk belajar sendiri. Aku lebih ngerti pelajaran kalau baca dan belajar sendiri di kamar atau di perpus. Jadi sebelum diskusi sama teman-teman, aku udah belajar dulu sebelumnya. Diskusi sama teman buatku jadi momen untuk saling sharing dan menambah ilmu (just in case ada yang aku kelewat).

#2.
Ujian kedua, which was actually the worst, adalah High Technology Entrepreneurship. Dosennya sama sekali ngga ngasih kisi-kisi. At all. Berhubung ia juga dosen baru, past papers (soal ujian di tahun-tahun sebelumnya) jadi ngga relevan. Pelajaran ini juga practical banget, semacam step by step bikin startup gitu. Jadi belajarnya menurutku lumayan tricky. Pokoknya aku pelajarin aja semua slide dosennya, buku-buku rekomendasi dosen (ini ternyata penting, lho!), dan buku kuliahnya juga.
Waktu ujian, kaget banget karena soalnya susah. Aku dikasih satu case, tentang suatu produk yang abstrak banget (ngga ada gambarnya, jadi semua pure mengandalkan imajinasi dan keterampilan memahami deskripsi produk dari kata-kata). By the way, ini produk inovatif yang beneran ada, lho. Jadi setelah ujian, aku dan teman-teman sekelas langsung browsing tentang produk mutakhir tersebut. Dan ternyata banyak dari kami yang salah memahami produknya. Di soal ujian ada salah satu pertanyaannya yang teori hafalan banget. Aku kebetulan cuma baca sekilas aja tentang teori itu dan ngga hafal sama sekali. Akhirnya jawab sesuai logika aja deh. Satu hal yang bikin aku terbantu di ujian yang ini adalah karena aku baca buku (selain textbook utama) dan nonton video belajar tentang startup di Udacity. Jadi waktu aku menjawab pertanyaan-pertanyaan di ujian, aku elaborate menggunakan insights yang aku dapet dari baca dan nonton itu. Otomatis, ada hal yang ‘baru’ di jawabanku dan kayaknya itu deh yang bikin nilaiku lumayan bagus.

#3
Bisa dibilang ini adalah ujian yang termulus. Soalnya, sejak awal dosennya udah ngasih kisi-kisi soal. Bahkan dari tiap kisi-kisi itu dijelasin juga pertanyaannya akan seperti apa. Dosennya pun udah jelasin struktur jawaban yang baik itu kayak gimana. Meskipun udah ada kisi-kisi detail, mau ngga mau sebetulnya semua materi harus tetep dipelajari. Jawaban yang diminta dosenku itu strukturnya ada introduction, discussion, example, dan conclusion. Di bagian discussion, aku harus bisa mengaitkan teori yang ditanyakan dengan teori-teori lain yang sudah dipelajari di kelas. Semua teori kan sebetulnya saling terkait. Nah tapi dengan adanya kisi-kisi, aku terbantu banget untuk nentuin di bagian mana harus lebih fokus belajarnya. Aku juga bisa membuat stock answer alias latihan menjawab soal. Jadi ketika H-2 ujian, aku cuma banyakin baca stock answers-ku. Saat ujian juga udah ngga repot mikir, tinggal tulis lagi aja stock answer yang udah dibuat.

Nah itu tadi tiga tipe ujiannya. Sekarang tips and trick-nya.. supaya belajar ngga terlalu berdarah-darah tapi hasilnya tetep memuaskan (pass lah paling ngga).

Yang pertama, fokus sama kisi-kisi yang dikasih dosen. Itu semua tujuannya kan buat memudahkan, jadi jangan bikin repot diri sendiri. Tapi tetep pastiin bahwa kalian ngerti juga materi-materi lain yang ngga termasuk di kisi-kisi.

Kedua, jangan ragu untuk diskusi sama teman-teman. Aku inget banget dulu pulang dini hari dingin-dingin dari rumah salah satu teman sejurusanku karena diskusi. Aku juga ikutan diskusi di dua kelompok berbeda, biar insights-nya makin banyak.

Ketiga, cicil belajar dari jauh-jauh hari. Soalnya materinya banyak banget, paper yang harus dibaca pun puluhan. Kalau ngga dicicil ya dijamin keteteran banget. Setiap selesai baca paper juga sebaiknya tulis poin-poin penting. Aku bukan tipe yang bisa nge-stabiloin paper (I always end up highlighting all the sentences). Jadi aku lebih suka nyatet dan bikin mind map-nya.

Keempat, if necessary, dengerin ulang lecture dari dosen. Aku beruntung banget teman sekelasku ada yang rajin ngerecord lecture. Ini buatku bermanfaat banget sih buat ngulang slide-nya dosen. Most of my lecturer tuh slide-nya minimalis banget, isinya cuma poin penting dan gambar. Jadi rekaman penjelasan dosen itu sangat membantu.

Kelima, remember the structure. Saat menjawab pertanyaan di ujian, jangan lupa masukkan seluruh poin yang diminta dosen: introduction, discussion, example, conclusion. Exam-ku tuh sebenernya mirip bikin mini essay jadinya. Waktu kuliah di teknik, aku terbiasa jawab to the point, ngga banyak ba-bi-bu. Nah pas S2 aku harus elaborate banyak hal. Aku sampai latihan nulis loh sebelum ujian, to ensure that I write fast enough hehehe.

Keenam, ask a lot of questions. Biasanya di hari terakhir perkuliahan dosen tuh melowongkan waktunya untuk revise semua pelajaran yang udah disampaikan. Nah di kesempatan ini, baiknya sih tanya sebanyak-banyaknya hal.  Kalau waktu belajar tiba-tiba ada yang bingung, jangan ragu juga untuk nanya ke teman yang lebih pintar atau langsung email dosennya.

Ketujuh, don’t get stressed out! I know you’re going to feel so overwhelmed, tapi semua teman sekelasmu pun melalui hal yang sama. Jangan sampai merasa panik karena itu malah bikin distraksi belajar. Keep calm, atur jadwal belajar sebaik mungkin and do give yourself some rewards. Aku dulu bikin target ngga boleh nonton Sherlock Holmes yang Abominable Bride sebelum selesai belajar sampai bab 5. Jadi makin semangat juga deh belajarnya.

All I can say now is.. good luck! God speed! I’ve passed it all and you will, too.

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Tidak Ada Manchester Hari Ini

Hari ini Hujan. Tapi bukan hujan yang sama.
Aku tidak lagi terbangun di kasur ukuran single di dalam kamar berukuran mini di lantai paling atas Leamington House. Sebagian langit-langit kamar itu miring mengikuti bentuk atap. Jendela besar di kamar pun mengikuti bentuk miring tersebut. Seringkali orang berkomentar “romantis dong kalau hujan” atau “enak ya kalau malam bisa lihat bintang”. Padahal Manchester cukup sering dilanda hujan es, tidak ada romantisnya sama sekali. Yang ada hanya suara ribut butiran es yang jatuh.

Keluar rumah, tidak ada lagi Sainsburry di seberang jalan. Wangi pastry hangat dari Greggs pun tidak tercium. Tidak ada perjalanan ke Piccadilly dengan bus double decker, melewati teater The Palace. Udara yang biasanya ada di angka belasan, kini meningkat drastis. Tidak ada langit biru yang dihiasi jet trail. Kini yang ada hanyalah langit abu. Angin sudah bertiup secara wajar. Aku sudah kembali.

Ceritaku di Manchester selesai seiring dengan dicantumkannya gelar baru di belakang namaku. Lembar kisah di kota di sebelah utara Inggris kini sampai di lembar terakhir. Menanti untuk ditutup.

“Well, maybe it started that way. As a dream, but doesn’t everything? Those buildings. These lighys. This whole city. Somebody had to dream about it first. And maybe that is what I did. I dreamed about coming here, but then I did.” (Roald Dahl’s James and the Giant Peach)

Semua berawal dari mimpi. Sayangnya, tidak semua orang berani mengejar mimpi.

Dan di kesempatan ini, aku hanya ingin berterima kasih pada orang-orang yang bersamaku dalam meraih mimpi ini.

First of all, I shall put no one above Allah Swt.

Kemudian, terima kasihku kepada:

Bapak dan Ibu, Mbak Izza dan Ryan, Aghung Mamie, Hanna Izma Azizah, Sarahi Bujani, Maratush Sholihah, Kanetasya Salsabila, Nindya Kirana, Amy Aniqa, Mariana Octaviana, Indi Raisa, Yoga Adhisatya, Reza Dianofitra, Agnes Salyanty, Moon, Andy Giovanny, Nugroho, Asif Hossain, Menna Rabie, Siddrah Farid, Shristi Garg, Vedika Harlalka, Alexander Staub, Yixin Li, Qiubei Guo, Endah Anomsari, Ambun Pratami, Febby Widjayanto, Yasir Hutapea,  Bening Tirta, Dwiky Riza, Gede Arya, Dian Widayanti, Gita Chairiana, Juanita Fathul Amani, Syarifah Khodijah, PPI GM, Pengajian Karisma, TPA Manchester, dan seluruh teman-teman IME yang belum disebutkan namanya..

untuk warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah 🙂

 

Forever yours,

♥ Atiqah Zulfa Nadia

 

Keeping all balloons in the air

Beberapa waktu yang lalu, ada seorang temanku yang bercerita tentang how stressful it is to study abroad. Sebelumnya ada juga temanku yang mengeluh karena setiap harinya dipenuhi dengan belajar, sampai belum sempat jalan-jalan ke London sejak tiba di Inggris bulan September lalu. Jadi menurutku it’s quite an important stuff to share my experience on keeping all balloons in the air ketika S2 kemarin.

I came to UK with huge excitement. Aku semangat banget dan waktu itu cukup ambisius. Belajar dari pengalaman S1, kalau mau mendapat hasil akhir yang cemerlang, dari awal perkuliahan aku harus commit untuk rajin belajar dan selalu memberikan yang terbaik. Selain itu, aku juga terpacu untuk bisa lulus summa cumlaude alias distinction. Soalnya, Vidi Aldiano dengan jurusan yang sama denganku bisa mendapat nilai disertasi distinction. Ngga mau kalah dong pastinya sama Vidi (sok akrab). Long story short, di awal perkuliahan aku sangat ambisius.

The truth is, it’s not that easy. Kuliah S2 di luar negeri itu kayak keeping all balloons in the air and you got lots of balloons. Satu balon adalah belajar, balon lain adalah memasak dan mengurus keperluan sehari-hari karena harus mandiri, balon lainnya merupakan hasrat untuk bisa jalan-jalan, dan masih banyak lagi balon lainnya. Mulai dari mengatur uang, maintain good relationship dengan teman-teman di Indonesia, sampai ikut kegiatan bersama perantau dari Indonesia lainnya demi menghilangkan rasa kangen. Ditambah lagi, belajar ketika S2 di luar negeri ngga lagi semudah belajar saat S1 di Indonesia dulu. Harus ekstra, cause all materials are in English. Aku ngga pernah meleng sedikit pun kalau di kelas karena dijamin akan ketinggalan penjelasan dosen. Waktu mau ujian pun aku harus minta file recording penjelasan dosen demi bisa mengingat kembali semua pelajarannya. Totally different dari saat aku S1, yang sambil main handphone aja bisa tetep mengerti apa yang dosen jelaskan.

Stressful? Yeah, honestly, at first. Jadi ketika itu aku mencoba untuk ngga terlalu ambi. Or else aku akan stress. Aku akhirnya mengontrol ekspektasi, especially for my own self. I pushed myself hard but I also knew when to stop, when it’s actually enough. I still aimed high, but I also acknowledged that I may not be able to reach that high. I finally set a border which I can’t cross. Itu seperti limit yang aku buat agar aku ngga push myself too hard dan malah membuat sulit diri sendiri. Selain itu aku juga terbantu dengan time management yang baik. Aku untungnya bukan seorang deadliner, aku selalu spare time beberapa hari sebelum deadline untuk bisa mengecek kembali hasil pekerjaanku. Aku cukup perfeksionis anaknya, jadi spare time itu juga aku lakukan untuk (biasanya) berkali-kali merevisi tugas sebelum akhirnya aku kumpulkan.

It’s not easy to keep all balloons in the air. Baru selesai melempar satu balon, harus buru-buru melempar balon lainnya sebelum jatuh ke tanah. So busy, so hectic, and so stressful. Tapi bukan berarti ngga mungkin, you just have to know your capacity. As time goes by, pasti terbiasa. Dan harus nerimo, kalau sesekali mungkin ada balon yang ngga ke-handle dan akhirnya jatuh. Cause that’s life. And most importantly, we can always pick it up and throw it up again in the air.

Good luck,

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Selain Kuliah, Ngapain?

Salah satu pesan penting untuk semua anak kuliahan: jangan pernah kuliah just for the sake of kuliah. Dunia perkuliahan itu menyimpan banyak banget kesempatan yang mostly cuma bisa datang di saat kita masih berstatus mahasiswa. Waktu S1 aku bisa dibilang moderate lah tingkat keaktifannya. I involved in several activities, joined some communities, dan sering nongkrong di kampus meskipun ngga bisa dibilang “anak organisasi banget”.

S1 seems like a long time ago, aku pun lupa pernah ngapain aja. Jadi aku akan share kegiatan selain kuliah saat aku S2. The truth is, ketika S2 biasanya kegiatan di luar belajar dan ngerjain tugas itu ngga banyak. Kalau ada kegiatan tambahan pun most likely akan masih berhubungan dengan akademik. Lucky me, aku Alhamdulillah bisa berkuliah di luar negeri, dimana ada kesempatan untuk kegiatan wara-wiri lain selain jadi mahasiswa teladan (padahal ngga teladan). Mayoritas di luar negeri mahasiswa asal Indonesia-nya adalah anak postgrad (S2) jadi yang megang PPI dan acara-acaranya kebanyakan adalah kami-kami ini mahasiswa pascasarjana. Di kampus pun ada beberapa club yang bisa diikuti, kalau di school-ku clubnya dibagi berdasarkan minat kerja masing-masing mahasiswa. Jadi contohnya ada Consulting Club, Entrepreneurship Club, dan lain-lain.

So, what did I do?

madrasah-for-kids

Awal-awal dateng ke Manchester, aku ditawari oleh seorang teman untuk bantu-bantu ngajar madrasah. Muridnya adalah anak-anaknya orang Indonesia yang tinggal di sini. Satu pertimbanganku kenapa mengiyakan tawaran ini cuma karena aku seneng main sama anak kecil. Jadi ini ngga ada hubungannya sama kealiman dan tingkat spiritualitas hehe. Kegiatannya setiap seminggu sekali di hari Jumat sore dan libur tiap university break. Durasinya sekitar satu jam yang diisi dengan baca iqro, story telling, hafalan, dan solat berjamaah. Selesai madrasah selalu ada makan-makan (atau kadang makan dulu baru madrasah). Main sama anak-anak tuh bikin seneng banget and it was a great way to start the weekend.

madrasah-for-kids1

Kesannya aku alim banget ya anaknya? But no, not really. Niat utama sih pastinya emang supaya lebih dekat dengan Yang Maha Kuasa dan ngga terbawa pergaulan ala western. Tapi disamping itu, aku ikut pengajian karena bisa kumpul dengan teman-teman Indonesia dan tentunya makan makanan Indonesia. Aku ikut dua macam pengajian, yang pertama pengajian kelompok kecil yang isinya perempuan semua. Kedua adalah pengajian se-Manchester yang banyaknya dihadiri oleh ibu-ibu dan bapak-bapak. Menurutku kegiatan ini bermanfaat banget karena bisa menambah ilmu. Topik yang dibahas pun seringnya pas dengan kehidupan sebagai mahasiswa rantau di Inggris.

madrasah-for-kids2

Kebetulan University of Manchester itu isinya diverse banget, mahasiswanya datang dari berbagai macam negara. Jadi, sering kali ada kegiatan-kegiatan seru yang terkait dengan budaya. Pertama kalinya aku berpartisipasi di acara kampus adalah di acara Global Night. Di situ aku ikutan fashion show (ceritanya cita-cita dari kecil akhirnya tercapai). Rasanya bangga deh bisa mengenalkan pakaian khas Indonesia di depan mahasiswa dari negara lain. Kedua kalinya aku ikut acara ASEAN Festival, sama-sama fashion show juga.

madrasah-for-kids3

Aku bukan pengurus harian di PPI GM (Greater Manchester), bukan juga di PPI UK. Tapi, aku ikut berkontribusi memeriahkan acara-acaranya PPI. Misalnya, Indonesian Cultural Festival (ICF) dan 17-an. Waktu ICF, aku membantu sebagai koordinator acara fashion show dan paduan suara. Sekaligus waktu itu aku tampil juga: nari saman, paduan suara, dan jadi MC (diborong semua, maklum banci tampil). Yang seru dari ikutan jadi seksi sibuk adalah momen-momen menyenangkan yang ngga terlupakan dan punya semakin banyak teman. Dinamikanya pun ngga sama dengan mengurus acara di Indonesia.

madrasah-for-kids4

Aku beruntung banget ketemu sama temen-temen yang hobi masak. Jadi aku sempat nyewa stand bareng 3 orang temenku di sebuah bazaar makanan. Di sana kita jualan, deh. Lumayan loh untungnya. Berhubung aku ngga kerja part time selama di Manchester, uang hasil berjualan ini lumayan bisa nambahin uang jajanku hehe. Waktu lebaran juga aku jualan kue kering ke temen-temen di sana. Alhamdulillah untung juga 😀

madrasah-for-kids5

Ini udah pasti sih, semua orang yang lagi merantau pasti ngga akan melewatkan kesempatan untuk jalan-jalan. Menjelajah tempat baru, nyobain makanan yang aneh-aneh, dan foto-foto di tempat-tempat yang instagramable. Tapi aku setuju banget sih bahwa jalan-jalan itu harus. It’s always better to buy experience than to buy stuffs. Dan tentuny ada banyak banget pelajaran yang bisa didapat dari sebuah perjalanan.

madrasah-for-kids6

Well, it depends on your interest. Maksudku di sini adalah either nonton bola, nonton konser, atau nonton pertunjukkan sesuai dengan interest masing-masing orang. Kalau aku, dari dulu suka banget art performance. Sejak kecil aku udah ikut ibu dan bapakku nonton teater. Jadi, salah satu hal yang aku ngga mau lewatkan waktu di Inggris kemarin adalah nonton teater. Aku nonton Marry Poppins and it was gooooood. Lalu aku juga sempat nonton balet di London. Ceritanya tentang Swan Lake. It was my first experience dan bikin ketagihan. Aku pengen banget bisa nonton balet lagi suatu hari nanti 🙂

Itu semua adalah kegiatan-kegiatanku selama di Manchester, selain belajar, ngerjain tugas, dan kuliah. Intinya semua kegiatan itu udah membuatku made the most out of my limited time in Manchester. Tinggal di Manchester membuat aku sadar bahwa kehidupan itu ada tenggat waktunya. One day, waktu kita akan habis. Jadi, we gotta do what we gotta do. It’s now or later or maybe never. Aku jadi menghargai setiap kesempatan yang datang dan fokus pada hal-hal yang membuat aku bahagia.

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Be Our Guest

Aku udah beberapa kali bilang bahwa tinggal di Manchester itu membuatku belajar banyak hal. Nah salah satunya yang akan aku share kali ini adalah tentang nice things that we can do ketika bertamu atau ketika sedang menjadi tuan rumah. Di Manchester aku cukup sering bertamu, dalam rangka main, belajar bareng, rapat, latihan nari, pengajian, party, dan lain-lain. Jadi, artikel ini berbasis dari pengamatan dan pengalamanku sendiri selama di sana. Dan menurutku semuanya applicable juga untuk di Jakarta, as kindness is universal. So, let’s get started!

Kalau bertamu…

Yang paling penting tentunya izin dulu ke tuan rumah kalau kita hendak bertamu, kalau bisa kasih tau juga kira-kira kapan dan jam berapa kita akan datang. Nah, kalau bertamu dalam rangka ada acara di rumah tersebut, it will be very nice kalau kita membawa buah tangan. Misalnya, diundang untuk party di rumah seseorang, kemudian kita datang membawa jus 2 karton yang bisa disuguhkan saat itu juga untuk tamu yang lain. Aku bersyukur banget sih karena temanku mencontohkan ke aku untuk bawa buah tangan tiap datang ke party. Soalnya, if I don’t bring a juice, i will end up with alcoholic drinks. Meskipun tamu adalah raja, ngga ada salahnya banget kan untuk ikutan membantu tuan rumah. Paling simpelnya ya menawarkan diri untuk bantu-bantu preparation atau mencuci piring. Hal lain yang juga penting adalah jangan stay di rumah seseorang sampai terlalu malam, unless memang acaranya mengharuskan seperti itu (misalnya, nonton bareng). Sebenernya semuanya merupakan hal sederhana yang cukup obvious dan semua orang tau. Cuma kadang ngga dipraktekin aja hehe

Kalau menerima tamu…

Aku sendiri jarang banget nerima tamu sebenernya, tapi aku sering melihat bagaimana para tuan rumah men-treat para tamunya. Pertama, siapkan rumah dalam keadaan baik. At least si tamu nantinya bisa duduk dengan nyaman. Selanjutnya, kasih tau password wifi. Zaman sekarang kita emang lengket banget sama internet dan kuota di paket internet yang kita beli tuh ngga cukup untuk bisa mengakomodir itu. Jadilah kami menjadi fakir wifi. Maunya kalau udah sampai gedung atau rumah tuh langsung connect ke wifi. Yang ketiga adalah tawarin makanan. Aku udah 2 kali niat main ke rumah orang cuma untuk anter dan ambil barang, eh malah sekalian dapat makan siang gratis. Seneng kan? Nah jadi kalau mau bikin tamu senang, tawarin aja makanan. Terakhir, tanya how do they feel about the house. Misalnya, apakah kepanasan atau kedinginan.

Before I start writing, I thought I’m going to write a lot. Ternyata segitu aja yah? Intinya sih semua yang aku mention di atas adalah hal-hal yang sederhana yang impact-nya menurutku akan sangat besar buat tamu dan tuan rumah.

Semoga bermanfaat 🙂

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia