Cipika Cipiki Cipika

Sudah lama ya ngga cerita-cerita tentang pengalaman traveling dan tinggal di luar negeri.. kebetulan momennya pas, aku mau share tentang serunya hidup bersama sesama muslim waktu di Manchester dulu. Satu hal yang paling menarik buatku adalah kebiasaan cipika cipiki yang sedikit berbeda dari biasanya. Di Manchester, cium pipinya tiga kali, bukan dua kali. Pipi kanan, pipi kiri, lalu pipi kanan lagi. Jadi, instead of cipika cipiki, nama yang tepat adalah cipika cipiki cipika 😀

Aku ngga pernah tau asal muasal kenapa harus tiga kali.. tapi semua orang begitu. Baik orang Indonesia yang tinggal di sana ataupun umat muslim yang berasal dari negara lain. Jadi aku ikutan aja.

Selama di Manchester aku ngga merasakan perbedaan yang terlalu signifikan dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim. Shalat ya shalat, puasa ya puasa, rutin juga datang ke pengajian bulanan. Islamic Society di kampus juga ngga jarang mengadakan kajian dengan mendatangkan ustad-ustad kondang (kondang versi internasional, yang kadang aku juga ngga pernah dengar).

Yang paling aku suka adalah bagaimana orang-orang di sana solid sekali 🙂 kalau mau ada pengajian bulanan, ramai-ramai masak menu makanan Indonesia yang menjadi salah satu daya tarik untuk datang ke pengajian. Di bulan Ramadhan dan hari raya pun pasti ada aja undangan bukber atau open house. Hidangannya pun mewah banget. Buat aku yang anak rantau, makan mendoan dan bala-bala aja udah mewah luar biasa. Apalagi kalau bisa langsung disantap tanpa repot-repot ngadon. Tapi biasanya makanannya bukan sekedar bala-bala dan mendoan. Ada bakso, somay, es pisang hijau, rendang, gulai, dan masih banyak lagi deh….. (makanya di sana ngga kangen Indo, tapi pas di Indo selalu kangen Manchester hehe). Setiap pulang dari acara kumpul-kumpul pun selalu bawa kantong plastik isi makanan.

Aku senang aja melihat orang-orang rela bercapek-capek dan mengeluarkan effort yang cukup besar untuk bisa kumpul-kumpul. Melepas rindu kampung halaman, bertukar cerita, berkeluh kesah dari mulai masalah disertasi sampai masalah jodoh, dan sedikit banyak belajar tentang agama juga.

Selain orang muslim dari Indonesia, muslim dari negara lain pun ngga kalah baiknya. Aku beberapa kali diundang makan bareng oleh temanku dari Mesir dan satu lagi orang Pakistan yang lahir dan besar di UK. Aku jadi bisa mencicipi makanan khas negara mereka, deh. Ngga tanggung-tanggung, mereka menyiapkan 3 course menu setiap kali mengundang makan bareng (and you may guess, I’m always falling in love with the desserts). Ketika kumpul kami sering ngobrol tentang kebiasaan puasa, lebaran, dan lain-lain di negara asal masing-masing. Walaupun beragam (even kadang cara kami beribadah aja berbeda), tapi kami sama-sama muslim. And that’s kind of a strong bond already.

Tanpa disadari, keberadaan mereka di Manchester menjadi salah satu alasan kenapa Manchester, meskipun jauh, adalah rumah kedua.

 

♥Atiqah Zulfa Nadia

Advertisement

Finding Gems in Charity Shops

Anyone been to Big Bad Wolf? I just went there this morning and found some pretty good deals. Most of them are good deals, actually. If you’re asking, Big Bad Wolf is a book sale event where you can get cheap new books (for half price or even less). Located in ICE, BSD. Long way ride, indeed. But if you’re a bookworm just like me, the event is worth coming to.

And yesterday I started watching the brand new netflix series: Girlboss. I have watched it up to episode 5 and I’m going to continue watching. Because it’s damn good. There’s not too much romance (well, at least until episode 5) and it’s very real. Very 23-years-old-woman’s life; hate becoming an adult, confused, and continuously searching for things that we really do want to do in life – for the rest of our life. Well, basically it’s about a girl who manages an e-bay business. She goes to charity shops and then looking for some treasures. Once found, she sells it online. (I hope this isn’t too much of a spoiler).

So, those 2 things have reminded me of what it’s like finding gems in charity shops. When I was living in Manchester, I’m quite a fan of charity shops. If you’re wondering, it’s a place where people give their unused stuffs and then the shop re-sell it with cheap price. All the money that comes will be given for charity. I wonder if this kind of business model can also be implemented in Indonesia.. I believe we all have too much clothes in our wardrobe which are rarely worn, too much books on the shelf just for collection, and too much stuffs in our house just because we think someday we might need them. Don’t we?

There are so many charity shops in Manchester. Got one just right in front of my hall door. They sell clothes, shoes, books, kitchen utensils, home appliances, and so on. There are more charity shops in Didsbury. Charity shops are standing side by side.

4db159c7d6cea067e2ec101500da0b44
Isn’t this charity shop very cute? (Source: pinterest.com)

My friend, Agnes, is the one who told me for the very first time that I can actually find gems in charity shops. Honestly I’m a bit skeptical about buying clothes in charity shops (what if the previous owner got a skin disease or has been wearing it so recklessly?). So I never did. But I did check them out, I moved from one aisle to another just to look at the clothes the try them on in the fitting room. And there were many good stuffs, indeed. I just need to be patient.

It’s a bit like gambling, actually. You never really know what you’re going to get. It’s either you find nothing or you find something really-really good that makes you scream “so much win!“.

Since I didn’t buy clothes, I bought another thing from charity shops. Books. Mostly cook books. I got Gordon Ramsay’s cook book with his signature on it for less than £4. So it’s around IDR 80,000. Isn’t that amazing?? The charity shops have various kinds of book, but they may not have all. I also bought Malcolm Gladwell’s The Tipping Point from a charity shop.

I kinda miss strolling down Didsbury road, going in and out of charity shops, and then being overly satisfied when I found good stuff for a cheap price. Or maybe I just simply love the experience of shopping in charity shops, seeing the vintage goods, having short conversation with old people in the shops (because the customers are mostly elderly people that would gladly comment “oh that jacket looks good on you, love”), or maybe I just like the idea of people in Manchester are not ashamed of buying secondhand goods. On the plus side, if someone buys something from charity shops, she’s also doing a charity, right?

 

Well, something good is sometimes found in the most unexpected place, isn’t it? 🙂

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Study Abroad 101: Ujian Semester

It’s December already! Setahun yang lalu, di waktu-waktu seperti saat ini, aku lagi sibuk menyiapkan rencana liburan winter sambil mencicil bahan-bahan untuk ujian. Liburan winter itu berlangsung sekitar satu bulan. Setelah itu langsung disambut dengan ujian akhir semester. Beberapa universitas lain di UK sih ujiannya dilakukan sebelum libur. Tapi di Manchester malah sebaliknya.

Waktu mau ujian itu, aku bener-bener belajar giat. Sebelumnya aku ngga pernah belajar ‘segila’ itu. Dulu dengan latihan soal-soal aja kayaknya cukup, tapi berhubung di S2 kemarin aku ambil jurusan bisnis, jadi aku harus banyak baca dan pinter mengarang bebas. Ada tiga mata kuliah yang salah satu komponen nilainya adalah exam. Nah, tiap mata kuliah itu beda-beda jenis soalnya, approach dosennya, dan pastinya cara belajar dan mengerjakan soalnya. Here’s how they are and some tips to nail them.

#1
Ujian pertamaku waktu itu adalah Innovation Management. Sebelum liburan, dosennya udah memberi contoh soal-soal yang dikeluarkan di exam tahun-tahun sebelumnya. Tipe soalnya adalah case study. Jadi ada satu paragraf kasus dan 2-3 pertanyaan. Yang seru dari mengerjakan case study adalah tiap orang pasti punya sudut pandang dan persepsinya masing-masing. So basically there’s no completely wrong answer if we provide a good argument. Di H-1 ujian, dosenku memberikan case study untuk dikerjakan keesokan harinya (semua case study di kirim lewat email, tapi kita ngga ada yang tau apa pertanyaannya).
Ini memudahkan banget sih, soalnya saat ujian kita hanya punya waktu 3 jam. Kalau case study-nya baru dibaca saat itu juga, kayaknya ngga bakal selesai deh. Dari sekian banyak case study, nantinya aku cuma harus mengerjakan 4 buah. Nah di H-1 itu aku sorenya kumpul bareng temen-temen sekelas untuk diskusi. Kupas tuntas case study-nya dan bikin perkiraan kira-kira pertanyaan apa yang bakal keluar dan gimana jawabannya. Sekalian juga buat recall teori-teori dan penjelasan dosen rame-rame.
Fyi, aku termasuk orang yang harus ada waktu untuk belajar sendiri. Aku lebih ngerti pelajaran kalau baca dan belajar sendiri di kamar atau di perpus. Jadi sebelum diskusi sama teman-teman, aku udah belajar dulu sebelumnya. Diskusi sama teman buatku jadi momen untuk saling sharing dan menambah ilmu (just in case ada yang aku kelewat).

#2.
Ujian kedua, which was actually the worst, adalah High Technology Entrepreneurship. Dosennya sama sekali ngga ngasih kisi-kisi. At all. Berhubung ia juga dosen baru, past papers (soal ujian di tahun-tahun sebelumnya) jadi ngga relevan. Pelajaran ini juga practical banget, semacam step by step bikin startup gitu. Jadi belajarnya menurutku lumayan tricky. Pokoknya aku pelajarin aja semua slide dosennya, buku-buku rekomendasi dosen (ini ternyata penting, lho!), dan buku kuliahnya juga.
Waktu ujian, kaget banget karena soalnya susah. Aku dikasih satu case, tentang suatu produk yang abstrak banget (ngga ada gambarnya, jadi semua pure mengandalkan imajinasi dan keterampilan memahami deskripsi produk dari kata-kata). By the way, ini produk inovatif yang beneran ada, lho. Jadi setelah ujian, aku dan teman-teman sekelas langsung browsing tentang produk mutakhir tersebut. Dan ternyata banyak dari kami yang salah memahami produknya. Di soal ujian ada salah satu pertanyaannya yang teori hafalan banget. Aku kebetulan cuma baca sekilas aja tentang teori itu dan ngga hafal sama sekali. Akhirnya jawab sesuai logika aja deh. Satu hal yang bikin aku terbantu di ujian yang ini adalah karena aku baca buku (selain textbook utama) dan nonton video belajar tentang startup di Udacity. Jadi waktu aku menjawab pertanyaan-pertanyaan di ujian, aku elaborate menggunakan insights yang aku dapet dari baca dan nonton itu. Otomatis, ada hal yang ‘baru’ di jawabanku dan kayaknya itu deh yang bikin nilaiku lumayan bagus.

#3
Bisa dibilang ini adalah ujian yang termulus. Soalnya, sejak awal dosennya udah ngasih kisi-kisi soal. Bahkan dari tiap kisi-kisi itu dijelasin juga pertanyaannya akan seperti apa. Dosennya pun udah jelasin struktur jawaban yang baik itu kayak gimana. Meskipun udah ada kisi-kisi detail, mau ngga mau sebetulnya semua materi harus tetep dipelajari. Jawaban yang diminta dosenku itu strukturnya ada introduction, discussion, example, dan conclusion. Di bagian discussion, aku harus bisa mengaitkan teori yang ditanyakan dengan teori-teori lain yang sudah dipelajari di kelas. Semua teori kan sebetulnya saling terkait. Nah tapi dengan adanya kisi-kisi, aku terbantu banget untuk nentuin di bagian mana harus lebih fokus belajarnya. Aku juga bisa membuat stock answer alias latihan menjawab soal. Jadi ketika H-2 ujian, aku cuma banyakin baca stock answers-ku. Saat ujian juga udah ngga repot mikir, tinggal tulis lagi aja stock answer yang udah dibuat.

Nah itu tadi tiga tipe ujiannya. Sekarang tips and trick-nya.. supaya belajar ngga terlalu berdarah-darah tapi hasilnya tetep memuaskan (pass lah paling ngga).

Yang pertama, fokus sama kisi-kisi yang dikasih dosen. Itu semua tujuannya kan buat memudahkan, jadi jangan bikin repot diri sendiri. Tapi tetep pastiin bahwa kalian ngerti juga materi-materi lain yang ngga termasuk di kisi-kisi.

Kedua, jangan ragu untuk diskusi sama teman-teman. Aku inget banget dulu pulang dini hari dingin-dingin dari rumah salah satu teman sejurusanku karena diskusi. Aku juga ikutan diskusi di dua kelompok berbeda, biar insights-nya makin banyak.

Ketiga, cicil belajar dari jauh-jauh hari. Soalnya materinya banyak banget, paper yang harus dibaca pun puluhan. Kalau ngga dicicil ya dijamin keteteran banget. Setiap selesai baca paper juga sebaiknya tulis poin-poin penting. Aku bukan tipe yang bisa nge-stabiloin paper (I always end up highlighting all the sentences). Jadi aku lebih suka nyatet dan bikin mind map-nya.

Keempat, if necessary, dengerin ulang lecture dari dosen. Aku beruntung banget teman sekelasku ada yang rajin ngerecord lecture. Ini buatku bermanfaat banget sih buat ngulang slide-nya dosen. Most of my lecturer tuh slide-nya minimalis banget, isinya cuma poin penting dan gambar. Jadi rekaman penjelasan dosen itu sangat membantu.

Kelima, remember the structure. Saat menjawab pertanyaan di ujian, jangan lupa masukkan seluruh poin yang diminta dosen: introduction, discussion, example, conclusion. Exam-ku tuh sebenernya mirip bikin mini essay jadinya. Waktu kuliah di teknik, aku terbiasa jawab to the point, ngga banyak ba-bi-bu. Nah pas S2 aku harus elaborate banyak hal. Aku sampai latihan nulis loh sebelum ujian, to ensure that I write fast enough hehehe.

Keenam, ask a lot of questions. Biasanya di hari terakhir perkuliahan dosen tuh melowongkan waktunya untuk revise semua pelajaran yang udah disampaikan. Nah di kesempatan ini, baiknya sih tanya sebanyak-banyaknya hal.  Kalau waktu belajar tiba-tiba ada yang bingung, jangan ragu juga untuk nanya ke teman yang lebih pintar atau langsung email dosennya.

Ketujuh, don’t get stressed out! I know you’re going to feel so overwhelmed, tapi semua teman sekelasmu pun melalui hal yang sama. Jangan sampai merasa panik karena itu malah bikin distraksi belajar. Keep calm, atur jadwal belajar sebaik mungkin and do give yourself some rewards. Aku dulu bikin target ngga boleh nonton Sherlock Holmes yang Abominable Bride sebelum selesai belajar sampai bab 5. Jadi makin semangat juga deh belajarnya.

All I can say now is.. good luck! God speed! I’ve passed it all and you will, too.

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Tidak Ada Manchester Hari Ini

Hari ini Hujan. Tapi bukan hujan yang sama.
Aku tidak lagi terbangun di kasur ukuran single di dalam kamar berukuran mini di lantai paling atas Leamington House. Sebagian langit-langit kamar itu miring mengikuti bentuk atap. Jendela besar di kamar pun mengikuti bentuk miring tersebut. Seringkali orang berkomentar “romantis dong kalau hujan” atau “enak ya kalau malam bisa lihat bintang”. Padahal Manchester cukup sering dilanda hujan es, tidak ada romantisnya sama sekali. Yang ada hanya suara ribut butiran es yang jatuh.

Keluar rumah, tidak ada lagi Sainsburry di seberang jalan. Wangi pastry hangat dari Greggs pun tidak tercium. Tidak ada perjalanan ke Piccadilly dengan bus double decker, melewati teater The Palace. Udara yang biasanya ada di angka belasan, kini meningkat drastis. Tidak ada langit biru yang dihiasi jet trail. Kini yang ada hanyalah langit abu. Angin sudah bertiup secara wajar. Aku sudah kembali.

Ceritaku di Manchester selesai seiring dengan dicantumkannya gelar baru di belakang namaku. Lembar kisah di kota di sebelah utara Inggris kini sampai di lembar terakhir. Menanti untuk ditutup.

“Well, maybe it started that way. As a dream, but doesn’t everything? Those buildings. These lighys. This whole city. Somebody had to dream about it first. And maybe that is what I did. I dreamed about coming here, but then I did.” (Roald Dahl’s James and the Giant Peach)

Semua berawal dari mimpi. Sayangnya, tidak semua orang berani mengejar mimpi.

Dan di kesempatan ini, aku hanya ingin berterima kasih pada orang-orang yang bersamaku dalam meraih mimpi ini.

First of all, I shall put no one above Allah Swt.

Kemudian, terima kasihku kepada:

Bapak dan Ibu, Mbak Izza dan Ryan, Aghung Mamie, Hanna Izma Azizah, Sarahi Bujani, Maratush Sholihah, Kanetasya Salsabila, Nindya Kirana, Amy Aniqa, Mariana Octaviana, Indi Raisa, Yoga Adhisatya, Reza Dianofitra, Agnes Salyanty, Moon, Andy Giovanny, Nugroho, Asif Hossain, Menna Rabie, Siddrah Farid, Shristi Garg, Vedika Harlalka, Alexander Staub, Yixin Li, Qiubei Guo, Endah Anomsari, Ambun Pratami, Febby Widjayanto, Yasir Hutapea,  Bening Tirta, Dwiky Riza, Gede Arya, Dian Widayanti, Gita Chairiana, Juanita Fathul Amani, Syarifah Khodijah, PPI GM, Pengajian Karisma, TPA Manchester, dan seluruh teman-teman IME yang belum disebutkan namanya..

untuk warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah 🙂

 

Forever yours,

♥ Atiqah Zulfa Nadia

 

Keeping all balloons in the air

Beberapa waktu yang lalu, ada seorang temanku yang bercerita tentang how stressful it is to study abroad. Sebelumnya ada juga temanku yang mengeluh karena setiap harinya dipenuhi dengan belajar, sampai belum sempat jalan-jalan ke London sejak tiba di Inggris bulan September lalu. Jadi menurutku it’s quite an important stuff to share my experience on keeping all balloons in the air ketika S2 kemarin.

I came to UK with huge excitement. Aku semangat banget dan waktu itu cukup ambisius. Belajar dari pengalaman S1, kalau mau mendapat hasil akhir yang cemerlang, dari awal perkuliahan aku harus commit untuk rajin belajar dan selalu memberikan yang terbaik. Selain itu, aku juga terpacu untuk bisa lulus summa cumlaude alias distinction. Soalnya, Vidi Aldiano dengan jurusan yang sama denganku bisa mendapat nilai disertasi distinction. Ngga mau kalah dong pastinya sama Vidi (sok akrab). Long story short, di awal perkuliahan aku sangat ambisius.

The truth is, it’s not that easy. Kuliah S2 di luar negeri itu kayak keeping all balloons in the air and you got lots of balloons. Satu balon adalah belajar, balon lain adalah memasak dan mengurus keperluan sehari-hari karena harus mandiri, balon lainnya merupakan hasrat untuk bisa jalan-jalan, dan masih banyak lagi balon lainnya. Mulai dari mengatur uang, maintain good relationship dengan teman-teman di Indonesia, sampai ikut kegiatan bersama perantau dari Indonesia lainnya demi menghilangkan rasa kangen. Ditambah lagi, belajar ketika S2 di luar negeri ngga lagi semudah belajar saat S1 di Indonesia dulu. Harus ekstra, cause all materials are in English. Aku ngga pernah meleng sedikit pun kalau di kelas karena dijamin akan ketinggalan penjelasan dosen. Waktu mau ujian pun aku harus minta file recording penjelasan dosen demi bisa mengingat kembali semua pelajarannya. Totally different dari saat aku S1, yang sambil main handphone aja bisa tetep mengerti apa yang dosen jelaskan.

Stressful? Yeah, honestly, at first. Jadi ketika itu aku mencoba untuk ngga terlalu ambi. Or else aku akan stress. Aku akhirnya mengontrol ekspektasi, especially for my own self. I pushed myself hard but I also knew when to stop, when it’s actually enough. I still aimed high, but I also acknowledged that I may not be able to reach that high. I finally set a border which I can’t cross. Itu seperti limit yang aku buat agar aku ngga push myself too hard dan malah membuat sulit diri sendiri. Selain itu aku juga terbantu dengan time management yang baik. Aku untungnya bukan seorang deadliner, aku selalu spare time beberapa hari sebelum deadline untuk bisa mengecek kembali hasil pekerjaanku. Aku cukup perfeksionis anaknya, jadi spare time itu juga aku lakukan untuk (biasanya) berkali-kali merevisi tugas sebelum akhirnya aku kumpulkan.

It’s not easy to keep all balloons in the air. Baru selesai melempar satu balon, harus buru-buru melempar balon lainnya sebelum jatuh ke tanah. So busy, so hectic, and so stressful. Tapi bukan berarti ngga mungkin, you just have to know your capacity. As time goes by, pasti terbiasa. Dan harus nerimo, kalau sesekali mungkin ada balon yang ngga ke-handle dan akhirnya jatuh. Cause that’s life. And most importantly, we can always pick it up and throw it up again in the air.

Good luck,

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Selain Kuliah, Ngapain?

Salah satu pesan penting untuk semua anak kuliahan: jangan pernah kuliah just for the sake of kuliah. Dunia perkuliahan itu menyimpan banyak banget kesempatan yang mostly cuma bisa datang di saat kita masih berstatus mahasiswa. Waktu S1 aku bisa dibilang moderate lah tingkat keaktifannya. I involved in several activities, joined some communities, dan sering nongkrong di kampus meskipun ngga bisa dibilang “anak organisasi banget”.

S1 seems like a long time ago, aku pun lupa pernah ngapain aja. Jadi aku akan share kegiatan selain kuliah saat aku S2. The truth is, ketika S2 biasanya kegiatan di luar belajar dan ngerjain tugas itu ngga banyak. Kalau ada kegiatan tambahan pun most likely akan masih berhubungan dengan akademik. Lucky me, aku Alhamdulillah bisa berkuliah di luar negeri, dimana ada kesempatan untuk kegiatan wara-wiri lain selain jadi mahasiswa teladan (padahal ngga teladan). Mayoritas di luar negeri mahasiswa asal Indonesia-nya adalah anak postgrad (S2) jadi yang megang PPI dan acara-acaranya kebanyakan adalah kami-kami ini mahasiswa pascasarjana. Di kampus pun ada beberapa club yang bisa diikuti, kalau di school-ku clubnya dibagi berdasarkan minat kerja masing-masing mahasiswa. Jadi contohnya ada Consulting Club, Entrepreneurship Club, dan lain-lain.

So, what did I do?

madrasah-for-kids

Awal-awal dateng ke Manchester, aku ditawari oleh seorang teman untuk bantu-bantu ngajar madrasah. Muridnya adalah anak-anaknya orang Indonesia yang tinggal di sini. Satu pertimbanganku kenapa mengiyakan tawaran ini cuma karena aku seneng main sama anak kecil. Jadi ini ngga ada hubungannya sama kealiman dan tingkat spiritualitas hehe. Kegiatannya setiap seminggu sekali di hari Jumat sore dan libur tiap university break. Durasinya sekitar satu jam yang diisi dengan baca iqro, story telling, hafalan, dan solat berjamaah. Selesai madrasah selalu ada makan-makan (atau kadang makan dulu baru madrasah). Main sama anak-anak tuh bikin seneng banget and it was a great way to start the weekend.

madrasah-for-kids1

Kesannya aku alim banget ya anaknya? But no, not really. Niat utama sih pastinya emang supaya lebih dekat dengan Yang Maha Kuasa dan ngga terbawa pergaulan ala western. Tapi disamping itu, aku ikut pengajian karena bisa kumpul dengan teman-teman Indonesia dan tentunya makan makanan Indonesia. Aku ikut dua macam pengajian, yang pertama pengajian kelompok kecil yang isinya perempuan semua. Kedua adalah pengajian se-Manchester yang banyaknya dihadiri oleh ibu-ibu dan bapak-bapak. Menurutku kegiatan ini bermanfaat banget karena bisa menambah ilmu. Topik yang dibahas pun seringnya pas dengan kehidupan sebagai mahasiswa rantau di Inggris.

madrasah-for-kids2

Kebetulan University of Manchester itu isinya diverse banget, mahasiswanya datang dari berbagai macam negara. Jadi, sering kali ada kegiatan-kegiatan seru yang terkait dengan budaya. Pertama kalinya aku berpartisipasi di acara kampus adalah di acara Global Night. Di situ aku ikutan fashion show (ceritanya cita-cita dari kecil akhirnya tercapai). Rasanya bangga deh bisa mengenalkan pakaian khas Indonesia di depan mahasiswa dari negara lain. Kedua kalinya aku ikut acara ASEAN Festival, sama-sama fashion show juga.

madrasah-for-kids3

Aku bukan pengurus harian di PPI GM (Greater Manchester), bukan juga di PPI UK. Tapi, aku ikut berkontribusi memeriahkan acara-acaranya PPI. Misalnya, Indonesian Cultural Festival (ICF) dan 17-an. Waktu ICF, aku membantu sebagai koordinator acara fashion show dan paduan suara. Sekaligus waktu itu aku tampil juga: nari saman, paduan suara, dan jadi MC (diborong semua, maklum banci tampil). Yang seru dari ikutan jadi seksi sibuk adalah momen-momen menyenangkan yang ngga terlupakan dan punya semakin banyak teman. Dinamikanya pun ngga sama dengan mengurus acara di Indonesia.

madrasah-for-kids4

Aku beruntung banget ketemu sama temen-temen yang hobi masak. Jadi aku sempat nyewa stand bareng 3 orang temenku di sebuah bazaar makanan. Di sana kita jualan, deh. Lumayan loh untungnya. Berhubung aku ngga kerja part time selama di Manchester, uang hasil berjualan ini lumayan bisa nambahin uang jajanku hehe. Waktu lebaran juga aku jualan kue kering ke temen-temen di sana. Alhamdulillah untung juga 😀

madrasah-for-kids5

Ini udah pasti sih, semua orang yang lagi merantau pasti ngga akan melewatkan kesempatan untuk jalan-jalan. Menjelajah tempat baru, nyobain makanan yang aneh-aneh, dan foto-foto di tempat-tempat yang instagramable. Tapi aku setuju banget sih bahwa jalan-jalan itu harus. It’s always better to buy experience than to buy stuffs. Dan tentuny ada banyak banget pelajaran yang bisa didapat dari sebuah perjalanan.

madrasah-for-kids6

Well, it depends on your interest. Maksudku di sini adalah either nonton bola, nonton konser, atau nonton pertunjukkan sesuai dengan interest masing-masing orang. Kalau aku, dari dulu suka banget art performance. Sejak kecil aku udah ikut ibu dan bapakku nonton teater. Jadi, salah satu hal yang aku ngga mau lewatkan waktu di Inggris kemarin adalah nonton teater. Aku nonton Marry Poppins and it was gooooood. Lalu aku juga sempat nonton balet di London. Ceritanya tentang Swan Lake. It was my first experience dan bikin ketagihan. Aku pengen banget bisa nonton balet lagi suatu hari nanti 🙂

Itu semua adalah kegiatan-kegiatanku selama di Manchester, selain belajar, ngerjain tugas, dan kuliah. Intinya semua kegiatan itu udah membuatku made the most out of my limited time in Manchester. Tinggal di Manchester membuat aku sadar bahwa kehidupan itu ada tenggat waktunya. One day, waktu kita akan habis. Jadi, we gotta do what we gotta do. It’s now or later or maybe never. Aku jadi menghargai setiap kesempatan yang datang dan fokus pada hal-hal yang membuat aku bahagia.

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Be Our Guest

Aku udah beberapa kali bilang bahwa tinggal di Manchester itu membuatku belajar banyak hal. Nah salah satunya yang akan aku share kali ini adalah tentang nice things that we can do ketika bertamu atau ketika sedang menjadi tuan rumah. Di Manchester aku cukup sering bertamu, dalam rangka main, belajar bareng, rapat, latihan nari, pengajian, party, dan lain-lain. Jadi, artikel ini berbasis dari pengamatan dan pengalamanku sendiri selama di sana. Dan menurutku semuanya applicable juga untuk di Jakarta, as kindness is universal. So, let’s get started!

Kalau bertamu…

Yang paling penting tentunya izin dulu ke tuan rumah kalau kita hendak bertamu, kalau bisa kasih tau juga kira-kira kapan dan jam berapa kita akan datang. Nah, kalau bertamu dalam rangka ada acara di rumah tersebut, it will be very nice kalau kita membawa buah tangan. Misalnya, diundang untuk party di rumah seseorang, kemudian kita datang membawa jus 2 karton yang bisa disuguhkan saat itu juga untuk tamu yang lain. Aku bersyukur banget sih karena temanku mencontohkan ke aku untuk bawa buah tangan tiap datang ke party. Soalnya, if I don’t bring a juice, i will end up with alcoholic drinks. Meskipun tamu adalah raja, ngga ada salahnya banget kan untuk ikutan membantu tuan rumah. Paling simpelnya ya menawarkan diri untuk bantu-bantu preparation atau mencuci piring. Hal lain yang juga penting adalah jangan stay di rumah seseorang sampai terlalu malam, unless memang acaranya mengharuskan seperti itu (misalnya, nonton bareng). Sebenernya semuanya merupakan hal sederhana yang cukup obvious dan semua orang tau. Cuma kadang ngga dipraktekin aja hehe

Kalau menerima tamu…

Aku sendiri jarang banget nerima tamu sebenernya, tapi aku sering melihat bagaimana para tuan rumah men-treat para tamunya. Pertama, siapkan rumah dalam keadaan baik. At least si tamu nantinya bisa duduk dengan nyaman. Selanjutnya, kasih tau password wifi. Zaman sekarang kita emang lengket banget sama internet dan kuota di paket internet yang kita beli tuh ngga cukup untuk bisa mengakomodir itu. Jadilah kami menjadi fakir wifi. Maunya kalau udah sampai gedung atau rumah tuh langsung connect ke wifi. Yang ketiga adalah tawarin makanan. Aku udah 2 kali niat main ke rumah orang cuma untuk anter dan ambil barang, eh malah sekalian dapat makan siang gratis. Seneng kan? Nah jadi kalau mau bikin tamu senang, tawarin aja makanan. Terakhir, tanya how do they feel about the house. Misalnya, apakah kepanasan atau kedinginan.

Before I start writing, I thought I’m going to write a lot. Ternyata segitu aja yah? Intinya sih semua yang aku mention di atas adalah hal-hal yang sederhana yang impact-nya menurutku akan sangat besar buat tamu dan tuan rumah.

Semoga bermanfaat 🙂

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia

Grocery Shopping in Manchester

Sebagai mahasiswa independen, pastinya harus minimal seminggu sekali mampir ke minimarket ataupun supermarket. Pokoknya ada aja yang dibeli, dari mulai bahan makanan sampai ke cemilan untuk begadang di learning common. Karena aku muslim, aku harus berhati-hati memilih makanan yang aku beli. Alhamdulillah di UK semua produk dilabel dengan baik sehingga aku ngga seberapa kesulitan waktu belanja.

I will first talk about the general stuffs. Kayak apa aja macam-macam supermarket di UK, terutama di Manchester. Basically, untuk supermarket besar dan murah (mungkin setara dengan Carefour ya kalau di Indonesia) ada dua yaitu Aldi dan Lidl. Untuk grocery shopping, pokoknya puas dan lengkap deh di sini. Cons: antri kasirnya panjang mengular. Aku biasa belanja bahan makanan di Lidl karena murah dan lokasinya dekat rumah. Cons lainnya adalah you can barely find the common brands. Ya karena supermarket yang value-nya ekonomis, jadi merknya ya merk murah. Ngga ada nutella, but they do have something similar to nutella. Toiletries yang dijual di sana pun hanya satu merk. Kalau mau belanja di supermarket besar dan isinya beragam, ke Asda aja. Aku cuma pernah satu kali kesana karena jauh. But don’t worry karena dengan minimum pembelanjaan £25, kamu bisa menggunakan layanan Asda Delivery. Biaya antarnya beragam, tergantung hari dan jam.

Alternatif lain untuk belanja adalah minimarket kecil yang tersebar di banyak tempat di kota. Sebenarnya beberapa minimarket ini punya toko versi besarnya, tapi jarang dan letaknya seringkali agak jauh. Nama minimarketnya adalah Tesco, Spar, Sainsburry, dan Morrisons. Harga-harga di Sainsburry lebih mahal dibanding lainnya, tapi dia punya cookies dan pastries yang enak banget! Kala Morrisons itu lebih Asian-friendly, soalnya menjual mie (indomie juga loh, meskipun harganya lebih mahal daripada di toko Cina), santan, sayuran Asia seperti pokchoy dan chinese cabbage, dan beberapa bahan makanan lain untuk masakan Asia. Biasanya minimarket-minimarket ini juga punya promo Meal Deal seharga £3 or less, yang terdiri atas 1 main meal (sandwich dingin atau pasta dingin, atau sushi dingin, dll), plus minuman dan chips atau buah.

Chinese supermarket itu surga banget untuk orang-orang Asia. Lengkap hampir semua ada. Buat orang Indonesia, ngga perlu repot mencari tempe, indomie, sambal ABC, kecap ABC, dan berbagai bumbu masakan karena bisa ditemukan di toko Cina. Masalah harga, tentunya ya sedikit lebih mahal. Namanya juga diimpor.. Tapi ngga sampai mahal banget kok. Dan khusus di WH Lung ada student discount-nya. Kalau belanja di Chinese supermarket tuh bisa kalap deh pokoknya segala pengen dibeli. Di Manchester sendiri ada lumayan banyak Chinese supermarket yang mostly letaknya di Chinatown (Woo Sang, Hang Won Hong, sama ada satu lagi aku lupa namanya) dan ada juga yang dekat kampus yaitu WH Lung.

Terakhir, alternatif lain bisa belanja di supermarket halal yaitu Worldwide dan Superstore. Di sana bisa beli daging halal (ayam, kambing, dan sapi) dan berbagai bahan makanan meskipun mostly lebih cenderung ke bahan makanan India dan timur tengah.

Grocery shopping adalah salah satu aktivitas favoritku. Soalnya seru aja milih-milih bahan makanan sambil bikin planning mau diolah jadi masakan apa. I’d always prefer value supermarket seperti Lidl untuk belanja mingguan sedangkan aku ke Chinese supermarket dan supermarket halal paling sebulan satu sampai dua kali untuk belanja yang perlu-perlu.

Happy shopping!

 

♥, Atiqah Zulfa Nadia

Camaraderie

Merantau mengajariku tentang persahabatan dalam dimensi waktu dan tempat.

Dalam waktu hampir satu tahun ini aku bertemu banyak banget teman baru. Dari mulai mahasiswa Indonesia lain di sini, teman-teman sekelas, temannya teman, sampai anak-anak dari mahasiswa Indonesia yang memboyong keluarganya ke sini. I did make a lot of friends, kalau dipikir-pikir. Walaupun sebagiannya hanya sebatas kenal nama.

Meski waktunya singkat, udah banyak hubungan pertemanan yang dilalui (bahkan yang mungkin ngga pernah terjadi dengan teman-teman lain yang udah kukenal bertahun-tahun lamanya). Kita make travel plans bareng, ngegalau bareng, masak-masak, nonton film, nge-random bareng, begadang nugas berjamaah, saling utang-utangan, dan lain-lain. Ngga terasa, we become so close together. A very intimate friendship, orang-orang ini yang paling tau ceritaku dalam beberapa bulan ke belakang. Cerita panik, cerita bahagia, cerita konyol, drama kehidupan, semuanya deh.. Sebagian besar teman-teman ini tentunya sesama mahasiswa asal Indonesia, tapi beberapa teman sekelasku yang berasal dari negara lain pun ada yang menjadi teman dekat.

Sedikit baper, aku tinggal punya waktu 2 bulan lebih sedikit di sini. Cepet banget ngga kerasa! Dan walaupun I am so excited to be home (disertasi seringkali bikin homesick “pulangkan aku ajaaa ke Jakarta…”), aku juga sedih karena ngga akan bisa sedeket ini lagi sama teman-teman di sini. We almost see each other everyday, ngelakuin banyak hal bareng cause simply we have time dan manusia butuh bersosialisasi. Dan nanti pas udah di Indonesia, I’m totally aware that things will change.

Terutama dengan teman-temanku yang dari negara lain. We won’t see each other anymore. Entah kapan akan dapet kesempatan untuk cross each other’s path lagi. In two (or even one) years time, perhaps they will only be my Facebook friends. Tau kan, maksudnya Facebook friends? Those friends in our Facebook’s friends list which we haven’t talked to for ages. “Oh that’s my elementary school friend, but I don’t know him anymore. But we were friends”-kind of friends. Ya gitu. Secanggih apapun teknologi mampu mendekatkan yang jauh, rasanya ngga akan lagi sama.

Kalau dengan teman-teman yang asal Indonesia juga, I bet it will be easier. Bisa arrange meet up once in a while, tanpa tau akan bertahan berapa lama acara meet up-nya akan terus diadakan. Cause we’re going to continue living. Semua akan punya kesibukan masing-masing. Everyone will go back to the life they left. Dari yang awalnya tiap hari bareng, jadi cuma sebulan sekali mungkin. Lama-lama jadi setahun sekali pas bukber di bulan puasa.

Merantau tuh mirip kayak lagi traveling, suatu hari harus kembali dan ‘balik ke realita’ (walaupun merantau juga realita sih..). Back to the place where we belong, dimana kehidupan akan berlanjut. Kemaren temanku bilang, yang bakal diinget dari pengalaman kuliah di luar negeri tuh most likely bukan apa yang dipelajari di kelas, tapi momen-momen sama teman dan cerita-cerita yang meninggalkan kenangan buat kita.

Aku ngga pernah mikir tentang ini sebelumnya, meskipun udah sering melewati masa perpisahan sama teman-teman. Dari SD pindah ke SMP, lalu ke SMA, kemudian kuliah, dan kerja. Tapi somehow tau one day we’ll meet again and no hard feeling at all ketika pisah sama mereka. Mungkin karena ngga se-intense di sini ya pertemanannya?

I’m so happy and beyond grateful to know and to feel this kind of feeling and friendship. Bahwa aku bisa get along very well dengan orang-orang dari negara lain dan banyak bertukar cerita dan juga bisa ketemu sesama orang Indonesia yang baik-baik dan punya interest yang sama. Without them, my life in Manchester wouldn’t be so exciting and bearable.

Teman-teman yang baik itu anugrah dari Tuhan dan di saat merantau gini, they’re your knights in shining armor. Menjadi tempat curhat dan berkeluh kesah yang dituju setelah Allah, mereka yang paling dekat dengan kita karena keluarga kita adanya puluhan ribu kilometer jauhnya.

Last but not least, I want to say thanks for the friendship and the good times! Good luck for us all.

IMG_6212

These are my flat mates. Mereka secara jarak adalah orang-orang terdekatku di Manchester. Kami semua orang Asia dan punya kebiasaan yang mirip-mirip (bangun cukup pagi and we don’t do party). Walaupun mostly interaksi kami cuma berlangsung di dapur selama 30 menit sampai satu jam, we know each other quite well.

IMG_0657

My classmates in our very last lecture. Udah berminggu-minggu aku ngga ketemu dengan banyak orang di dalam foto ini. Some of them are home for good, sisanya sibuk dengan penelitian masing-masing. Paling ketemu dan saling sapa di learning commons aja. It was very nice knowing all of them 🙂

DSCF0022

Teman-teman road trip ke North Wales, 4 hari penuh ketawa dan curhat.

FullSizeRender

I once captioned this photo as “my luvly ukhti”, indeed they are lovely! Such a blessings banget bisa ketemu mereka semua dan keeping sane melewati segala drama kehidupan di Manchester hehe

IMG_0492

Segenap teman-teman sekelasku yang nonton acara Indonesian Cultural Festival 2016. Really do appreciate them for coming around and watch the show! Love you guys

IMG_0445

Anak-anak PPI-GM yang berpartisipasi di ICF. Banyak yang cuma kukenal nama, hehe

IMG_1344

Sister-sister yang literally 4L (lu lagi, lu lagi) karena hampir tiap minggu ketemu dan main bareng. Kebetulan sama-sama hobi masak, makan (kecuali satu orang yang ke dapur aja jarang) dan wacana olahraga (kecuali satu orang yang ngga pernah wacana olahraga).

 

They all are my #SquadGoals

♥ Atiqah Zulfa Nadia

My Last Season in UK

Tanggal 20 Juni kemarin katanya musim panas dimulai (kata Facebook sih..) dan artinya udah genap tiga musim aku lalui di UK. Dari mulai fall, winter, sampai spring. Summer will be my last season in UK. Ngga terasa udah hampir setahun aku jadi mahasiswi rantau. Time flies so quickly! Satu tahun itu waktu yang sebentar banget ternyata.

I’m a bit sad to know that my ‘vacation’ is almost over, entah kapan lagi bisa ke UK dan tinggal di sini untuk waktu yang lama. I had my ups and downs, ada banyak kejadian seru, menyenangkan, unforgettable, bikin panik, sedih, kecewa, ngeselin, dan banyak lagi. I met a lot of good friends (some of them come from a different part of the world) which somehow turns into family, mungkin karena sama-sama perantau jadi bond di antara kita cukup kuat. I really wouldn’t trade this experience with anything. Anything at all. Sekarang aku tinggal menikmati my last battle (read: disertasi) dan bulan-bulan terakhirku di Manchester.

Aku mau share sedikit yaa tentang hal-hal menarik di sini 😀

Makanan dingin. Di kantin kampus umumnya aku cuma bisa menemukan makanan dingin. Awalnya bingung, kenapa makanan yang dijual di pendingin itu ngga bisa dihangatkan di microwave kayak di Seven Eleven di Jakarta. Lama-lama aku maklum juga walaupun sampai sekarang masih ngga toleran dengan makanan dingin. Dari mulai sandwich, sushi, sampai pasta semuanya disajikan dan disantap dingin-dingin. Ini bukan cuma terjadi di kantin sih, di semua minimarket pun makanan siap santapnya disajikan dalam keadaan dingin.

Cake that is way too sweet. Setiap kali aku beli cake, 90%-nya aku merasa too much sugar. Either itu chocolate cake, carrot cake, ataupun red velvet cake. Semuanya manis banget. Well, sebetulnya kalau beli cake di bakery milik Chinese, manisnya ngga selegit cake yang dijual di minimarket. On the other hand, masakan asli British itu ngga ada asin-asinnya. Bener-bener plain.

Aksen. Aku merasa fine aja ketika di kelas mendengarkan dosen mengajar dan ngobrol bersama teman-teman. Untuk kegiatan sehari-hari pun aku cukup percaya diri dengan kemampuanku mendengar orang-orang di sekitar. Tapi, suatu hari aku naik kereta ke luar kota sendirian dan di belakangku ada cewek (yang sepertinya British) bersama temannya. Mereka ngobrol panjang kali lebar dengan suara cukup keras dan kecepatan luar biasa. I barely can understand a thing. Aksennya kental banget dan ngomongnya super cepat, aku cuma bisa melongo. Di situlah aku baru semakin sadar kalau aksen-aksen orang Inggris itu sulit untuk dimengerti.

Mendengar beragam bahasa. 50% murid di kelasku berkewarganegaraan Cina. Sisanya tersebar hampir di seluruh dunia. Di jalanan pun aku sering mendengar orang ngobrol dengan bahasa arab, india, cina, korea, dan lain-lain. Pokoknya bener-bener multi culture. Niat awal mau membawa pulang aksen British, yang ada malah bahasa Inggris-ku ya begini-begini aja karena mostly ngobrol dengan teman-teman yang sama-sama punya mother tongue selain bahasa Inggris.

Hujan. Banyak yang ngga terlalu suka dengan cuaca di UK yang gloomy dan sering hujan. Aku pribadi lebih cenderung suka cuaca kayak gini dibanding panas dan matahari melulu. Sometimes it’s a bit depressing, cause it’s way too gloomy. Tapi sejuknya enak. Tipe hujan di UK itu intensitasnya sedang tapi awet. Bisa seharian, bahkan dua hari awetnya. Terkadang berangin juga. Yang pasti jarang banget ada petir atau geledek. Hujannya beda dengan hujan di Jakarta yang akan bikin basah kuyup kalau diterabas. Di sini, banyak orang cuek aja kena basah-basah sedikit dari air hujan tanpa payung dan jas hujan.

Sun bathing. Saking seringnya hujan, setiap matahari keluar dan stay cukup lama (biasanya kalau weather forecast-nya sedang bagus), semua orang langsung tumpah ruah di jalanan dan di taman demi menikmati terik dan hangatnya matahari. Mereka akan tidur-tiduran di taman, duduk-duduk di trotoar, pokoknya keluar dari rumah deh. Aku sebagai anak yang udah sering liat matahari dan cenderung ogah panas-panasan cuma ngeliatin aja dari dalam gedung hehe..

Baju monochrome. Kalau belanja di sini, ngga banyak warna yang tersedia untuk dipilih. Di musim gugur dan winter, baju-baju didominasi warna gelap seperti hitam, biru navy, dan abu-abu. Sedangkan memasuki musim semi dan musim panas, bajunya didominasi warna putij. Bukan berarti ngga ada warna lain sama sekali, tapi dominannya ya warna basic itu. Makanya menurutku belanja di sini ngga sepuas belanja di Indonesia karena model bajunya ngga begitu sesuai dengan style-ku.

Well-suited gentlemen. Aku suka banget dengan gaya berpakaian orang-orang kantoran di UK, terutama di London (aku sempat lihat beberapa di Manchester juga, tapi ngga sebanyak di London). Mereka mengenakan kemeja, suit, dan dasi. Rapi banget pokoknya, tapi entah kenapa tetep kelihatan santai. I think London’s fashion is just fabulous. Berpakaian rapi dan pantas menurutku bisa meningkatkan attractiveness seseorang. Period.

Antri naik bus. Selama di Manchester aku ngga pernah mengalami seradak seruduk rebutan masuk ke dalam bus, seramai apapun penumpangnya. Bahkan, orang-orang punya kesadaran untuk mengantri. Misal aku datang terlebih dahulu dibanding si A, ia akan mempersilahkanku naik ke bus duluan meskipun si A berdiri lebih dekat dengan pintu bus. Waktu naik tube di London pun ngga chaos, penumpang yang mau turun akan turun terlebih dahulu sebelum penumpang lain naik. Lumayan tertib deh pokoknya, dibanding keadaan di stasiun kereta di Jabodetabek yang selalu sikut-sikutan.

Tepat waktu. Masih berhubungan dengan transportasi, bus antar kota dan kereta di sini tepat waktu banget (kecuali kalau ada masalah). Kalau di tiket tertera 9.45, ya bus atau kereta akan berangkat tepat jam 9.45 jadi kita harus udah on board sebelum itu. No tolerance dan tiada ampun buat yang telat meski semenit.

Dear, Love. Jangan baper (bawa perasaan) kalau disapa dengan sapaan ‘dear’ atau ‘love’ karena itu lumrah banget terjadi di UK. Biasanya paling sering disapa ‘love’ kalau lagi belanja di swalayan. Menang banyak kalau mas-mas kasirnya ganteng! 😀

Homeless. Aku awalnya mengira di UK semua orang hidup sejahtera, tapi nyatanya cukup banyak juga homeless di jalanan yang selalu berkata “any spare change please” kepada orang-orang yang berlalu lalang. Gemasnya, mereka suka nongkrong di depan toko atau minimarket dan ATM. Kan jadi serem, tapi so far mereka ngga ada yang ngerampok atau berbuat kriminal ke orang-orang sih setauku. They are merely homeless, but not criminals. Aku kasihan sih sama mereka, mengingat udara di sini yang bolak-balik hujan dan dingin. Hidup di jalanan dengan cuaca kayak gitu pasti ngga mudah.

Crime. Nah ada juga orang yang bener-bener kriminal. Sejak aku tiba di Manchester sampai sekarang, udah beberapa kali denger berita kemalingan, kecopetan, kebobolan, penculikan pemerkosaan, dan lain-lain. Pokoknya peringatan waspada ngga henti-hentinya dihimbau ke penduduk sini. Waspada harus, tapi jangan sampai parno hehe..

Cashless. This will be the last thing (karena udah lumayan banyak juga ya). Aku selalu punya cadangan cash at least 2 pounds untuk naik bus dan jarang punya cash lebih dari 10 pounds karena almost everything is cashless in here. Semua transaksi dilakukan dengan kartu. Konon sih, cashless itu baik untuk perekonomian? Menurutku, jadi praktis aja sih. Dan ngga banyak kertas juga, dompet jadi lebih ringkas.

That’s all for now, guys.

Manchester has been amazing. Yang terpenting, aku di sini jadi lebih mandiri (hopefully bukan cuma pendapatku doang), bisa masak banyak makanan Indonesia, dan somehow merasa lebih dekat dengan Tuhan. Not in a way dimana aku jadi lebih alim, tapi lebih ke aku jadi semakin interest untuk belajar banyak tentang agama dan mendekatkan diri pada Allah. Di masa-masa up and down-nya merantau dan hidup sendiri, kerasa banget kalau Allah itu Maha Besar dan bener-bener ada deket banget dengan kita, siap sedia menolong kalau kita kesulitan dan menenangkan hati.

With Allah beside me, I become an unstoppable force (this applies to you, too).

 

♥ Atiqah Zulfa Nadia