Hijab Journey

Akhir-akhir ini cari ide buat tulisan di blog agak susah deh. Kalau stuck gini biasanya social media comes to the rescue. Tulisan ini muncul berkat social media, waktu aku tanya di instagram topik apa yang pengen dibahas. Lalu salah satu sahabatuku di SMA nanya, apa suka duka dan challenge menggunakan hijab sampai akhirnya bisa ikhlas berhijab lillahi ta’ala.

Topik menarik nih, aku ngga punya cerita inspirasional terkait perjalanan hijabku sejujurnya. But let me just tell you the story, semoga I can come up with lesson learned at the end supaya kalian ngga sia-sia baca panjang lebar. Fyi, kata hijab, kerudung dan jilbab di tulisan ini bermakna sama ya, penggunaannya kuganti-ganti biar ngga bosen aja.

Aku konsisten berhijab sejak SMA kelas 1, but the journey started long way back. Dari mulai SD aku sudah paham bahwa menutup aurat itu wajib saat perempuan mulai menstruasi. Kakakku mulai berhijab kelas 5 SD, jadi ibuku pun meng-encourage aku untuk mulai pakai kerudung di waktu yang sama. Di minggu pertama aku duduk di kelas 5, aku mencoba pakai kerudung ke sekolah dan ke tempat les. Tapi rasanya belum dari hati, jadi aku ngga betah dan akhirnya berhenti pakai jilbab sampai lulus SD. It was a very short period of time, mungkin ngga ada yang inget kalau aku pernah menggunakan kerudung saat itu.

Di SMP, sehari-hari aku diwajibkan untuk pakai bergo di sekolah. Saat itu aku juga disuruh oleh orang tua untuk mulai pakai kerudung secara konsisten. Cerita menariknya di sini. Waktu SMP aku pakai kerudung kalau sekolah dan di depan keluarga aja, jadi mereka taunya aku udah konsisten berhijab. Tapi kalau lagi ngga sama mereka, aku lepas jilbabnya. I don’t quite understand kenapa dulu sulit banget untuk berhijab, I just didn’t feel like I want it. Ditambah lagi dengan lingkungan teman-teman yang saat itu masih belum menutup aurat. Waktu itu fashion untuk perempuan berhijab belum kayak sekarang. Jamannya masih hobi beli majalah Gadis dan Cosmogirl, ngga ada tuh model berkerudung ataupun inspirasi gaya hijab. Di masa SMP ini aku masih berat hati banget menutup aurat.

Sampai pada waktu aku akhirnya masuk SMA. Saat itu aku ngga punya pilihan lain selain konsisten berkerudung. Soalnya, aku sekolah di SMA Negeri yang ngga wajib memakai hijab. Berhubung keluargaku taunya aku udah berhijab, jadi seragamku dijahit lengan panjang dan rok panjang. Mau ngga mau aku harus pakai kerudung karena aneh kalau seragam serba panjang tapi ngga berhijab. Untungnya, ketika di SMA lumayan banyak teman-teman yang udah berkerudung. Semacam ngga merasa terasing. Tapi aku sempat mengalami krisis percaya diri waktu itu. Rasanya ngga pede dan ngga bebas jadi diriku yang sesungguhnya karena pakai jilbab. Kadang sering iri liat teman-teman yang belum berhijab dan pengen ikut bergaya kayak mereka.

Setahun berlalu, aku berhasil memupuk rasa percaya diri dan merasa normal dengan penampilanku. Aku sadar bahwa berhijab bukan penghalang untuk melakukan hal-hal yang aku suka. Di momen itu aku bisa mendefinisikan hijab adalah bagian dari diriku. Perjalanan masing-masing orang dari tahu aturannya sampai ke mengamalkan di kehidupan itu berbeda satu sama lain. Ada yang cepat dan ada yang lama, kita hargai aja. Aku butuh bertahun-tahun. But the journey does not stop there.

Aku beberapa kali jalan-jalan ke luar negeri dalam keadaan berhijab. Awalnya merasa agak asing, tapi lama-lama sadar: not everyone cares (aku ngga naif juga bahwa ada yang akan memandang aneh atau agak negatif). Takeaways-nya adalah santai aja dan berani beda. Bahkan berhijab ini memberikan manfaat kalau lagi traveling. Selain jadi alert untuk orang lain bahwa kita muslim (jadi terhindar dari makanan non halal), berhijab membuka interaksi dengan orang lain juga. Interaksinya bisa dengan sesama hijabers, bisa juga sama non muslim tertarik untuk tahu lebih banyak tentang hijab. Biasanya mereka tanya “apa sih itu yang nutup kepala kamu?” atau “kenapa sih kamu pakai penutu kepala?”

Nah pertanyaan itu makin sering aku dapat dari teman-teman ketika kuliah di Manchester. Di situ aku merasa jawabanku tentang kenapa harus berhijab tuh cetek banget. Aku kayak ngga tau alasan sebenarnya dari pilihanku berhijab. I just did dan ternyata aku baik-baik aja so I continue wearing. Aku bersyukur karena ada orang-orang sekitarku yang menyuruh, mengingatkan, dan meng-encourage aku untuk berkerudung. Kalau ngga ada support dari mereka, sampai sekarang mungkin aku belum pakai jilbab. Insya Allah selalu istiqomah sampai nanti.

Suka dan dukanya udah lumayan tergambarkan di cerita tadi ya. Kalau sekarang sih, ngga ada dukanya. Seneng-seneng aja dan aku merasa berhijab udah semakin mudah. Terutama terkait fashion ya, udah banyak banget sekarang baju-baju untuk para hijabers.

Challenge dari menggunakan jilbab menurutku adalah menjaga sikap dan perilaku. Beda dengan jadi alim dan rajin ibadah ya, karena itu urusannya sama Allah. Menjaga sikap dan perilaku itu urusannya sama manusia. Dengan berjilbab, harus bisa menunjukkan akhlak yang baik dan sesuai dengan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Ramah, lemah lembut, sopan, datang tepat waktu, ngga ingkar janji, dan lain-lain. Termasuk juga cara menasehati orang lain, cara menegur, dan cara menyampaikan pendapat. Jangan sampai menyakiti dan merugikan orang lain. Intinya membuat orang senang dengan keberadaan kita. Ini tantangan besar supaya stereotype yang terbentuk tentang hijabers itu yang baik-baik. Udah bukan rahasia kalau sekarang ini ukhti-ukhti seringnya dikategorikan eksklusif, ngga ramah, dan lain-lain yang insya Allah ngga benar. Pastinya saat ini aku belum sempurna dalam menjaga sikap dan perilaku ini, makanya jadi tantangan besar.

Tantangan besar yang kedua adalah menutup aurat dengan sempurna. Yang ngga berlebihan tapi sesuai dengan aturannya: tertutup semua kecuali wajah dan telapak tangan, pakaiannya longgar dan ngga transparan. Sempurna di sini maksudnya juga sesuai mana yang mahram dan mana yang bukan.

Terakhir, gimana caranya ikhlas lillahi ta’ala? Aku sendiri masih progressing. Salah satu caranya dengan belajar agama terus menerus, sedikit demi sedikit tapi kontinyu. Cari terus hidayahnya Allah, supaya senantiasa yakin kalau ini perintahNya dan Allah cuma mau yang baik-baik aja buat kita.

Gitu kira-kira hijab journey-ku. Semoga ada hal baik yang bisa diambil yaa. Terima kasih sudah mau baca panjang-panjang! 🙂

♥️, Atiqah Zulfa Nadia

Does All Improvement Necessary?

Sudah pada tau tentang startup lokal bernama Wahyoo dan Warung Pintar? Kalau belum, bisa cek google untuk tau detailsnya. Secara singkat, dua startup ini memberikan sentuhan teknologi pada bisnis tradisional di Indonesia, seperti warteg (Wahyoo) dan warung rokok pinggir jalan (Warung Pintar).

Kemarin aku dan Jihan makan di salah satu kedai bubur terkenal dan melegenda di Jakarta Pusat. Terlepas dari rasa, ada beberapa hal yang kurang pas dari pengalaman kami makan di sana. Apalagi dari sudut pandang anak manajemen dan anak teknik industri, bikin geregetan. Pertama, pelayannya kewalahan melayani pengunjung yang saat itu cukup ramai, mereka bahkan ngga mencatat pesanan – kalau kondisi sedang sepi mungkin cara mengingat pesanan ini lebih praktis, tapi nyatanya kalau sedang ramai jadi berantakan dan salah-salah. Lupa pesanannya apa, ngga ingat pelanggan mana yang duluan datang, dan lain-lain. Kedua, stok empingnya habis (entah sejak kapan) dan baru tiba ketika aku dan Jihan selesai makan. Jadilah kami berdua ngga dapat emping.

Dari situ jadi iseng berpikir kenapa warung yang pastinya omzetnya besar ini (karena legendaris dan selalu ramai) ngga melakukan improvement untuk memperbaiki layanan dan manajemennya?

Hasil ngobrol-ngobrol iseng aku dan Jihan, bisa jadi karena mereka ngga mengenal improvement.

Kedai bubur ini sederhana tempatnya, ada gerobak, kasir, dan kursi serta meja makan untuk tamu. Begitupun dengan bisnisnya, sederhana juga. Semua masih tradisional. They do their business as they did years ago. Yet people keep coming back, jadi mereka ngga merasa harus mengubah apa-apa. Mereka mungkin ngga tau bahwa opsi improvement itu ada.

Ini yang menarik dari bisnis kuliner tradisional, rasa dan legendanya itu bisa mempertahankan posisinya di pasar. Beda dengan bisnis lain yang harus terus menerus berinovasi, marketing ini itu, promo sana sini, untuk menjaga posisinya di antara kompetitor lain. Well, we’re not talking about that tho.

Jadi, manajemen kedai bubur ini bisa jadi ngga mengenal konsep improvement. Yang dia tau adalah berjualan, untung rugi, kualitas bubur, pembeli kenyang dan datang lagi. They just know they survive and that’s enough.

Lalu, gimana kalau mereka ditawarkan dengan opsi improvement? Apa yang akan terjadi kalau suatu hari ada orang yang datang ke sana dan menawarkan improvement untuk bisnisnya?

There’s always two options. Ya dan tidak. Inilah kenapa aku menyinggung dua startup sebelumnya, yang mencoba memberi benefit-benefit teknologi kepada toko tradisional supaya toko tersebut menjadi lebih baik. Yang aku tau, customer dari Wahyoo dan Warung Pintar ini sudah lumayan banyak, yang artinya banyak pebisnis tradisional yang tertarik – at least ngga reluctant terhadap teknologi dan perubahan.

Then, we have to look at it for a longer period. Akankah bertahan? Masihkah teknologi itu digunakan dalam 6 bulan, satu tahun, atau 2 tahun ke depan? Apakah penjualnya merasakan dan memahami manfaat dari teknologinya?

Semua tergantung dari seberapa effort dan benefitnya.

Menurut aku pribadi, it’s easy to change a system, a business process. Tapi, mengubah behavior orang itu sulit. Sebelum kita menerapkan berbagai teknologi dan sistem yang sekiranya bisa memberi improvement, kita harus bisa memengaruhi pikiran dari orang-orangnya. Bukan hanya membuat mereka bilang “ok” tapi juga membuat mereka paham betul bahwa mereka butuh improvement – dan solusi yang ditawarkan betul-betul bisa membantu mereka. Or else, improvement yang ada hanya bersifat sementara, ngga sustain. Karena orang-orang yang menjalankan bisnisnya belum memiliki urgensi untuk berubah.

Di bisnis kelas multinasional pun, perubahan ngga gampang diterima oleh semua karyawan. Sebagian karyawan lebih suka mengerjakan yang sudah biasa dikerjakan, dengan cara yang biasanya, di mana outputnya ngga jauh berbeda dengan sistem yang baru.

Dari sini aku tau pentingnya manajemen inovasi. Waktu S2, aku belajar bahwa sebuah inovasi itu harus dibuat semirip mungkin dengan kebiasaan saat ini. Sehingga effort orang-orang untuk berubah hanya sedikit, namun benefitnya bisa bertambah. Salah satu hal yang menentukan berhasil atau tidaknya inovasi, ya seberapa mudah orang beradaptasi ke sistem atau produk yang baru.

Aku yakin kedai bubur yang aku kunjungi akan senantiasa ramai selama dia tetap menjaga rasa dari makanan yang disajikan. Some improvements with the service would be good, but I don’t think it’s that necessary… yet.

♥️, Atiqah Zulfa Nadia

No Longer Sparks Joy

Akhir-akhir ini kalian yang follow instagramku mungkin ngeh kalau aku lagi sering bikin garage sale. Yup, kebetulan di rumah lagi hobi beres-beres dan banyak ditemukan barang dengan kondisi baik tapi udah ngga pernah dipakai lagi. Dibuang sayang, selalu ngerasa ‘nanti siapa tau butuh..’

Sebetulnya aku udah membiasakan diri untuk decluttering dari jaman masih kuliah. Prinsipnya new clothes in, old clothes out. Udah pakai prinsip begini aja, masih numpuk barangnya. Terutama barang-barang dengan value lumayan, rasanya kok sayang kalau dikasih ke orang lain (dulu belum kepikiran tuh garage sale di instagram, carousell juga belum ada). Ditambah lagi, aku terus menerus mensugesti diri kalau suatu hari barang itu akan berguna lagi.

Detachment emang butuh proses panjang ya (at least buat aku pribadi), sampai akhirnya bisa merelakan banyak barang untuk ngga jadi milik kita lagi. Satu hal yang mendorong aku untuk konsisten beberes, walaupun masih sedikit demi sedikit, adalah fakta bahwa kita akan dimintakan pertanggungjawaban atas segala hal di akhirat nanti, termasuk tentang barang-barang di lemari. Aku meyakini itu baru-baru ini aja sih. Ditambah lagi dengan konsep minimalism yang belakangan populer.

Selain itu, aku juga membiasakan diri untuk berpikir bahwa barang-barang yang utilisasinya rendah ini akan jadi lebih bermanfaat kalau dimiliki oleh orang lain. Purchase value suatu barang akan impas kalau digunakan dengan maksimal kan (imagine like buying a machine for a plant, pasti harus dipakai sesering mungkin supaya output banyak dan akhirnya capital-nya ‘terbayar’). Well the analogy might be a bit off, but you get what i mean.

Ada banyak cara buat beberes, aku yakin tipsnya macam-macam di internet. Kalau dari aku, mulai aja pokoknya. Lagi buka lemari terus ngeliat baju yang udah ngga kepake, langsung keluarin aja. Jangan ditunda, nanti malah kebanyakan mikir. Sempet juga dulu ada baju yang agak sayang untuk disumbangin karena masih bagus dan siapa tau nanti kepake, tapi ternyata setelah baju itu ngga ada aku ngga nyariin sama sekali kok.

Nah setelah beberes, bisa 2 pilihan: bajunya disumbangin (dikasih ke orang lain) atau dijual lagi dengan harga murah. Ngasih barang2-barang bekas ngga melulu harus ke yayasan, panti asuhan, atau panti dhuafa. Bisa juga kasih ke saudara atau kerabat yang kira-kira cocok. Jual preloved sekarang udah bisa lewat banyak channel, seperti Carousell, OLX, dari instagram juga bisa, atau bisa langsung jual ke thrift shop.

Intinya buat aku, decluttering adalah salah satu kegiatan menyenangkan. Kalau rumah ngga banyak barang tuh rasanya enak. Plong gitu. It takes time indeed, beberes tuh ngga bisa sejam dua jam selesai. Capek, tapi puas rasanya. I don’t recommend you to do it all at once, kayak yang tadi kubilang, bertahap aja. Satu lemari dulu, lanjut ke lemari lain, dan seterusnya. My inner peace comes through this also, hopefully it works the same for you guys 🙂

♥️, Atiqah Zulfa Nadia