Sebaik-baik Pengabulan Doa

Tuhan mengabulkan pinta sesuai kehendakNya.
Untungnya, selalu lebih baik dari yang kita kira.

Bisa ngomong gini ya karena pernah ngalamin. Dan betulan amazed sama rencana Tuhan.

Ketika kuliah, pengen banget jadi konsultan. At that moment, udah mencoba berbagai cara untuk ‘dekat’ dengan dunia konsultan. Tapi ya beberapa kali mencoba join, selalu ada kendala. Either ngga lolos, lowongan ngga buka, atau simply ngga berhasil submit aplikasi.

Akhirnya kerja korporat.

Ternyata enjoy juga. Dan kalau lihat teman-teman yang jadi konsultan, agak ragu juga “bisa ngga ya gue? Cocok ngga ya dengan culture-nya?” Jadi cukup mensyukuri keadaan saat itu. Udah ngga terlalu lirik-lirik consulting company lagi juga. Pun waktu itu kemudian startup yang naik daun (walau C level-nya ya jebolan consulting juga).

Long story short, bekerjalah di tempat kerja sekarang yang honestly feels like grace from above. Tidak di-plan, tidak apply (bukan karena ordal juga ya), ngga nyangka bakal diterima juga.

Ketika mulai kerja, baru tau kalau 50% peer di tim adalah ex-consultant. Sekarang malah hanya 2 dr 8 orang yang bukan ex-consultant. Jadi gaya-gayanya ya seperti konsultan. Kerjaannya pun lumayan mirip, tapi versi internal client. Bahkan dituntut untuk bisa produce PPT cemerlang bak konsultan asli (which took me years to learn, sampai sekarang). Literally trying to keep up with them fellas, karena otaknya satset banget dan somehow bisa hit suatu hal yang ngga kepikiran.

Sempet ciut juga along the way. Am i good enough? Cukup satisfactory ngga sih kemampuan ini? Tapi ya pikiran gitu dianggap lalu aja.. bismillah yang penting doing my best dan terus belajar.

Jadi cita-cita konsultan terjawab dengan indah di pekerjaan sekarang. Working with consultants, doing bits of what consultants do, but with normal working hours, low key culture, corporate pressure.. pokoknya segala hal tentang being consultants tapi versi diadjust specifically for me.

Baik banget ngga Allah tuh…

Many forms of His answers

God’s answer comes in multiple ways. If you are Moslems just like me, perhaps you’re already familiar with the 3 ways of how our du’a can be answered: now, later, or saved for something better.

As where i am now, i believe, is the answer to the prayer i made a long time ago. While it is not exactly the same as how i imagine it would be, it actually comes with many other blessings that i didn’t ask for.

So, i think, God’s answer is not limited to that often-heard 3 ways, but also that He grants our du’a in a scenario that is so beautiful. Beyond our wishes. He indeed knows best.

In making du’a, all we have to do afterwards, is to surrender. Let Allah answers in His knowledge. Then continue living – the best way possible. Fashbir shabran jamiila. Be patient, with a beautiful patience. Worship Him, make the best out of His mercy, believe that He will answer beyond our prayer.

How beautiful, it is, to have our life directed by The All Knowing, The Most Merciful… wouldn’t it be the best life ever?

Post Partum

Aku punya alasanku sendiri, kenapa tidak pernah mau kepo tentang cerita melahirkan seseorang. Tidak pernah banyak bertanya, apalagi di hari hari pertama. Cukup ucapan selamat dan turut berbahagia.

Kalaupun ada yang bercerita, aku cukup mendengarkan saja. Tidak banyak komentar, karena ada banyak rasa dalam satu peristiwa.

Bahkan ke orang terdekat sekali pun.

Aku akan fokus ke betapa sehat dan lucunya si bayi dan makanan apa yang diidamkan si ibu. Secukupnya aja, tidak berlebihan juga.

Karena aku tau betapa satu kalimat, satu respon, bisa mengubah hidup seorang ibu. Mungkin tanpa maksud apa apa, tapi membekas, merusak momen yang harusnya hanya ada bahagia.

Aku pun tau betapa kelakuan seseorang yang insensitif, yang tidak memikirkan orang lain, bisa membuat raga yang sudah letih semakin letih. Dan kesal.

Lalu orang mungkin bertanya “kenapa tidak dimaklumi saja? Orang kan beda beda. Dia tidak ada maksud buruk.” Aku, jika dalam keadaan terbaikku, mungkin (seperti yang selalu) akan menganggap semua angin lalu.

Tapi aku, saat itu, juga dengan marah bertanya “kenapa tidak sensitif dan sungguh jahat pada orang yang sedang (akan, atau baru saja) mempertaruhkan hidup dan matinya?”

Sayangnya memaafkan bukan hal yang mudah.

Kata seorang ahlinya, aku hanya perlu melakukan hal hal yang membuatku senang saat akan berhadapan dengannya. Supaya dendam ini tidak memicu amarah yang membuncah.

Aku cuma mau minta maaf sama Tuhan, karena tidak (atau belum) bisa memaafkan.

Tapi aku juga berharap Tuhan mengerti hambaNya yang lemah ini, karena memang cuma Tuhan yang paham… sakitnya, marahnya, bingungnya.

Kalau kata bukunya Hannah dan Mahira, “tenang saja Allah akan menjaga kita”

Semoga Allah jaga ibu, supaya bisa jaga Hannah dan Mahira… selamanya.

Membentuk Manusia

Satu hal yang bikin aku akhirnya yakin memilih bapaknya anak-anak adalah karena kita berdua bisa casually ngobrol tentang mendidik anak bahkan sebelum menikah. Buatku, salah satu tujuan menikah ya untuk membangun peradaban baru. Jadi ini poin penting banget untuk make sure visi dan ‘cara bermain’ kita sama.

Minggu kemarin, over coffee, lagi-lagi kita ngobrol soal anak. Ada cerita seorang temannya Jihan yang jadi trigger diskusi. Dan kita pun come up dengan 3 pertanyaan.

Gimana anak dari lingkungan yang baik bisa melakukan hal-hal buruk? Dan gimana anak dari lingkungan yang buruk bisa kemudian punya value yang baik? Lalu gimana caranya agar value kebaikan (dalam hal ini termasuk nilai-nilai) agama dipegang oleh anak bukan karena dipaksa melainkan karena kesadarannya sendiri?

Ya memang urusan hidayah itu sepenuhnya di tangan Allah ya.. tapi namanya orang tua pasti mau mengusahakan yang terbaik. Salah satu tugas kita, kan, membentuk anak-anak agar kelak mereka ngga sama kita lagi, tetap bisa survive dan selamat dunia akhirat.

Pada akhirnya diskusi mengarah ke tiga hal yang menurutku dan Jihan penting..

Yang pertama, untuk membentuk manusia yang baik, soleh/solehah adalah dengan menjadi orang tua yang soleh. Belajar dan terus memperbaiki diri, supaya bener-bener bisa jadi contoh.

Kedua adalah dengan memilihkan lingkungan yang baik. Kemarin kita sempet diskusi juga, sampai kapan sih harus mengarahkan anak tentang pergaulannya? Kita sepakat bahwa sampai mereka besar pun, kita harus kenal siapa sahabat anak-anak. Tapi untuk memilih siapa temannya, kita percaya semakin besar mereka semakin bisa memilih dengan baik. Kuncinya ketika masih kecil, kita arahkan.. kita bimbing supaya lekat dengan teman-teman yang baik. Dan keterusan deh, jadi nyaman dan prefer untuk selalu ada di lingkungan orang baik. Ngga nyaman di lingkungan yang ngga sesuai value agama.

Kesimpulan ketiga adalah menjaga solat itu penting. Sesuai pengalaman kita, solat menjadi salah satu penyebab anak bisa senantiasa ada di lingkungan yang baik. Aku flashback ke masa-masa ospek seharian yang melalui beberapa waktu solat. Karena aku mau solat, otomatis aku mencari teman yang juga sama-sama mencari mushola. Di mushola pun jadi bertemu teman baru. Begitu pun waktu di Manchester, mencari teman yang sama-sama solat akhirnya membawa aku ke lingkungan pengajian di sana. Sesuai haditsnya, solat mencegah perbuatan keji kan.. jadi insya Allah dengan menjaga solat, bisa menjaga perbuatan juga.

Kira-kira itu hasil diskusinya, berat tapi lumayan, sambil ngopi di pagi hari. Semoga Allah mudahkan dalam menjalaninya.. aamiin

🩷 AZN

The Why and The How

Selalu ada dua sisi dalam suatu persoalan.

Those sides might be: the one focus on why it happen and the one that focus on how we can solve it. There is absolutely no right or wrong, which side you’re in. Tapi ada kalanya, satu sisi lebih bijak dari sisi yang lain.

Pada saat masalah berlangsung, fokus pada penyelesaian agaknya lebih bijak. We need immediate action to get everything normal – or back in place. Kalau di isu-isu kerjaan, sering denger mungkin istilah fire fighting. Ya begitu kira-kira. Di situ ada api, di situ kita siram. Done.

Kalau api masih berkobar dan kita sibuk dengan segala asumsi dan pikiran tentang kenapa bisa kebakaran, terlalu lama prosesnya dan bisa-bisa api makin menyebar. Plus nyebelin juga, sih. Coba bayangin, ada rumah kebakar dan warga lagi sibuk nyiramin. Tau-tau ada yang nanya-nanya “kenapa nih kok kebakaran? Ada yang lupa matiin kompor ya? Rumah siapa nih yang korslet?” Apa ngga ikutan diguyur tuh dia sama warga?

Setelah masalahnya berhasil diselesaikan, bisa fokus di pertanyaan kenapa sesuatu bisa terjadi. Gunanya agar bisa tau penyebab utama persoalan dan bisa melakukan mitigasi bahkan pencegahan supaya ngga terulang lagi di kemudian hari. Kalau istilah kerennya RCPS, root cause problem solving.

Jadi why and how ini sama-sama diperlukan sebetulnya. Tapi pada porsinya dan pada momen yang tepat. Kalau kebalik, bisa bikin runyam suasana. Walaupun kita semua kayaknya memang punya kecenderungan, lebih ke how atau lebih ke why. Perlu dilatih aja agar bisa balance penerapannya.

❤ AZN

What’s Thicker than Water

As I was expecting Mahira, one thing I am very concerned about is how Hannah will response to the fact that she’s going to have a sibling. Sadly, knowledge regarding this is very rare. You can easily search articles and videos about how to prepare for your first-born but not for your second one. In fact, the situation is more challenging the second time around. The dynamics, the priorities are different.

So the first 2 to 3 months of adaptation was the hardest. Even I felt like reaching the dead end sometimes. The whole family need to adapt or else we all failed. Hannah was the one with more complexities as she even not in the age where she can already regulate her emotion. So I guess it was even harder for her than for me.

I sought for experts opinion and help from God (what else can I do, right?). And it turned out that the only way out is to complete the adaptation process. So the parents need to let her and help her adapt.

After quite some time, we finally grew as family. And our family rythm is back, although little by little.

Being a mother of two is not bad at all. I bet having siblings is not bad either for both Hannah and Mahira. Blood is thicker than water. They are going to have each other through everything in life, insya Allah.

When one’s heart breaks, the other’s will too. But it’s strong enough to hold the one in despair. When one is happy, the other will radiates the same energy. Just like me and my big sis, they will have an amazing journey of sisterhood. To infinity and beyond.

❤ AZN

Satu Tingkat di Atasnya

Di dunia yang penuh dengan perbedaan ini, mengasah empati jadi hal yang penting. Ketika kita yakin pada suatu hal atau memegang sebuah prinsip, bukan hal yang ngga mungkin kita jadi memandang orang lain dengan prinsip berbeda secara skeptis. Gampangnya, merasa kita yang paling benar. Bukan berarti jadi bermusuhan, tapi terbersit aja di hati kalau yang mereka anut atau pahami ngga lebih benar dari kita.

Pada akhirnya untuk menyikapi perbedaan memang perlu empati. Supaya ngga sembarang menuduh orang lain salah. Supaya bisa ‘santai’ juga dalam menghadapi dunia yang beragam cerita dan isinya. Empati ini seringnya membuat kita memaklumi prinsip, tindakan, dan pemikiran orang lain. There’s always a story behind everything. Dengan memaklumi ini, jadinya kita membiarkan orang lain bertindak dan berpikir sesuai apa yang dia anut. Tanpa banyak komentar, tanpa ngejulid, dan tanpa ikut campur pastinya.

Mungkin hal tersebut benar untuk case yang memang bisa dimaklumi, alias ngga melanggar hukum, aturan, ataupun ngerugiin orang lain. Kalau tindakannya salah atau melanggar gimana dong? Di Islam sendiri ada yang namanya amar ma’ruf nahi munkar. Jadi selain menyeru yang baik, harus juga melarang yang buruk. Tapi nyatanya ini ngga gampang. Ada aja yang menghalangi untuk menegur atau spill the news kalau seseorang berbuat buruk. Misalnya, takut dibilang sok suci, takut dianggap aneh, ngga mau cari ribut, dan lain-lain.

Jadi menjaga prinsip diri akan hal yang benar dan ngga mengusik orang lain mungkin tergolong level satu ya. Kalau sudah bisa, berani, menegakkan kebenaran dan tegas melarang keburukan, sepertinya itu satu tingkat di atasnya lagi.. dan jujur aku salut banget sama yang sudah selevel lebih tinggi ini. Semoga mereka semua diberikan keistiqomahan oleh Allah di jalan yang lurus, yang Ia ridhoi.

Aamiin.

Lalu, perlu naik level ngga kita? Ya perlu. Tapi karena challenge-nya banyak, berdoa dulu yang banyak supaya diberi kekuatan.

❤ AZN

Gigi Bayi-bayi

Hiii there! Kembali lagi aku menulis dan berbagi di media ini. Kali ini mau cerita tentang gigi bayi!

Eh kenapa tuh, kok gigi bayi? Emang bayi udah punya gigi? Yes, umumnya bayi mulai punya gigi di usia 6 bulan ke atas. Tapi ada juga yang sebelum itu. Contohnya? Ya Hannah dan Mahira! Disclaimer dulu nih, yang lebih cepat ini bukan berarti lebih baik – dan as far as i’m concerned, lebih cepat dalam hal tumbuh gigi juga bukan indikasi yang berbahaya.

Hannah baru lahir banget giginya udah 2! Bikin kaget kayak headline detik.com. Ketika tanya sama dokter anaknya, dikasih info bahwa ini namanya natal teeth. Langsung deh browsing-browsing tentang natal teeth ini di Google.

Dari hasil riset ala-ala, ternyata penyebab dari munculnya natal teeth ini belum diketahui secara pasti. Ada juga kondisi lain di mana gigi tumbuh setelah lahir yang disebut neo natal teeth. Entah Mahira termasuk yang ini atau bukan, tapi giginya mulai tumbuh di usia 3 bulanan. Emang anak ibu hobinya cepet-cepetan tumbuh gigi kali ya..

Aku juga sempet tanya ke akun little.toothfairy di Instagram milik dokter gigi anak drg. Stella tentang kondisi Hannah waktu itu. Dijelaskan bahwa giginya perlu dirawat seperti biasa saja, kayak merawat gigi susu, jadi harus dibersihkan rutin.

Yang lucu, dulu ada salah seorang dokter anak yang insist agar gigi Hannah dicabut karena menjadi salah satu potensi faktor Hannah sulit menyusu. Waktu itu langsung konsul ke dokter gigi anak drg. Annisa Ramalia. Menurut beliau, akar giginya kuat dan ini basically adalah gigi susu. Jadi ngga perlu dicabut. Emangnya mau anak kita ompong terus sampai nanti gigi dewasanya tumbuh?

Alhamdulillah ngga jadi dicabut. Bisa diledekin temen sekolahnya nanti kalau ompong terus. Dan sebetulnya gigi bukan hal yang mengganggu kok saat menyusu. Yang paling penting itu pelekatan, pelekatan, dan pelekatan.

Gigi Hannah yang berikut-berikutnya tumbuh sewajarnya aja, kayak bayi-bayi lain. Kondisinya juga sampai sekarang baik. Insya Allah Mahira juga nanti begitu yah. Sekarang dia giginya udah 3!

Jadi, natal teeth dan neo natal teeth memang kondisi yang cukup wow karena bikin kaget. Tapi bukan berarti hal yang buruk. Kalau ada yang mengalami juga, cari informasi terpercaya dan kalau bener-bener penasaran atau khawatir, insting orangtua tuh paling ngga bisa dicuekin, periksakan ajaa ke dokter gigi anak. Mereka deh yang ahlinya.

Cara aku merawat gigi gigi bayi ini sama aja kok ngga ada yang spesial.. sekalian merawat rongga mulut secara keseluruhan. Awalnya pakai kasa dan air hangat matang. Lalu pakai silicone brush dan sedikit pasta gigi anak (pas udah mulai makan). Jangan lupa kudu yang berflouride kalau kata para dokgi alias dokter gigi. Semenjak satu tahun, Hannah mulai pakai sikat gigi stage 1 untuk anak-anak (pakai Oral B karena dia lengkap stage-nya dan gemes gambarnya). Dulu masih selalu disikatin. Lama kelamaan, mau sikat sendiri. Kadang gemas juga takut ngga bersih, tapi bismillah aja sambil dipantau terus.

Terakhir, ya sempetin cek cek ke dokter gigi anak meski cukup menguras kantong ya.. tapi setidaknya bisa jadi early detection kalau ada apa-apa.

Okedeh cukup sekian dulu ceritaku kali ini. Kalau ada yang punya pengalaman sama gigi bayi yukk sharing-sharing 🙂

❤ Atiqah

The Mindset

I’m back to the office again after months of work from home. One thing (probably the only thing) i like more from WFO is the ability to talk with my colleagues in between meetings and during lunch. One of my colleagues had just finished her maternity leave so we often talk about motherhood. We once came to talk about the postpartum moment, where most of the hard things occured. New mom plus newborn is a chaos, without a solid support system – which I’m glad i had.

Long story short – hearing all our stories, another colleague just can’t imagine having a baby. To be exact, she’s not quite sure if she can handle all the hassles. But we kind of tell her that once God already decided to put a baby in her womb, it means she is ready – she will be ready eventually. You just don’t know where the strength came from. It just happened (well, with some preps and prayers of course).

It is that mindset that i would like to highlight. Not just when it comes to motherhood, but also when any kind of challenges, opportunities, or hardships face us. The mindset that a force greater than us is in control of whatever happens and by holding on to that force, we can go through every moments in life. Not necessarily perfect, but we survived. Gracefully, hopefully.

Amazingly, i found this case works in everyone -regardless of their religion- as long as they believe in God. Life becomes easier. The heart is at peace. Peace and calmness solves 50% burden of our problem. So it helps, a lot. In Islamic perspective, peace and calmness are reached by remembering Allah, continuosly. So that’s the mindset I’m trying to build within me. In every occasion, remember Allah, and remember He is capable of all and He is in control.

So, what’s there to be worried of?

Well it’s not that easy though. We’re human so we will still be worry about this and that. But at least 50% of it has been covered.

I hope we all find our peace of mind.

❤ Atiqah Zulfa Nadia

What happened to you?

Baru banget baca sebuah thread di Twitter, yang kontennya diambil dari Instagram seorang influencer. Di konten tersebut terlihat mbak influencer mengutarakan kesedihannya karena berulang kali dapat komentar super pedas dari netizen. Dia merujuk pada sebuah post tentang menjadi seorang ibu, di mana komentar netizen banyak yang menganggap dia lebay dan seakan ngga berempati terhadap apa yang dirasakan mbak influencer.

Terlepas dari segala faktor hormonal ibu dan betapa memang beberapa momen adalah perjuangan yang besar, aku lebih mau membahas para netizen yang suka komentar pedas di akun orang lain. Like, what happened to you?

Setahun ke belakang aku sempat membuat akun Instagram-ku jadi public. Niat awalnya supaya kalau share sesuatu bisa lebih luas impact-nya. Di masa itu, aku cukup hati-hati banget kalau ngepost. Terutama hal yang sifatnya personal. Foto anak, konten yang mengandung informasi diri, konten yang pakai tag lokasi, itu bener-bener dipikirin supaya ngga banyak data pribadi yang tersebar. Imagine strangers knowing all what you do and all your life story? Sebagai introvert tentunya ngga nyaman. Aku memang ngga siap jadi influencer yang sharing all the bits and pieces of life hehehe.

Lalu ada satu kejadian yang bikin aku bergerak mantap untuk menjadikan akunku private lagi. Suatu hari aku post sebuah konten, niatnya untuk nunjukin what I did to manage my expense. Kontennya udah dibuat sedemikian kecil dan buram. Kemudian ada orang asing, yang aku ngga kenal siapa and I bet she doesn’t know me too, yang komentar di DM. Komentarnya cukup pedas. And honestly, it took me several days to be okay with it (padahal DMnya langsung kuhapus saat itu juga – tapi otak kan ngga langsung lupa yaa). I did what I had to do to cope with the situation and after some days, akhirnya bisa bener-bener melupakan kejadian itu.

Sejak itu jadi paham kalau wajar aja jika influencer banyak yang mengalami disturbance dalam hidupnya. Apalagi kalau terekspos dengan komentar pedas nan jahat dari netizen. Ada yang bilang itu konsekuensi dari menjadikan hidup sebagai konsumsi masyarakat luas. Partially agree. Dan belum menjelaskan fenomena kenapa orang asing (netizen) punya drive untuk memberikan komentar julidnya? Aku pribadi sering merasa ‘cringe banget oy’ ketika melihat sebuah konten, tapi I don’t think it’s necessary to tell it to the person. Apalagi aku ngga kenal secara personal.

So what happened to you? Apa sih yang bikin banyak netizen sampai memutuskan untuk ngetik komentar dan klik tombol send? Apakah itu membuat dirinya kelihatan lebih baik dari orang-orang lain? Atau memang dasarnya dia merasa lebih baik dari mbak influencer? Atau ini ada pengaruh dari rasa iri? Atau jangan-jangan iseng semata?

Bener-bener penasaran sih sama latar belakang psikologi atau basic human behavior-nya. Di buku Contagion, ada satu istilah namanya social currency. Di mana sesorang inginnya selalu terlihat lebih baik, dibandingkan orang lain. Sehingga value social currency-nya lebih tinggi. Ada banyak hal yang bikin social currency ini terkesan naik: knowing what other’s don’t, be the first to try something, dan lain-lain. Tapi aku ngga yakin juga ini menjelaskan fenomena tadi sih.

Masih menerka-nerka, what drives those people to post such hateful and unnecessary comment? And how do they feel after posting it?

❤️ Atiqah Zulfa Nadia